Bicara Rasio, Ini Utang Negara Bukan Warteg!
Mendengar ada negara bangkrut, bagaimana perasaan anda? Tentulah heran, ini kan negara, bukan kumpulan pasukan Paskibraka yang ada aba-aba bubar jalannya. Namun negara bangkrut itu nyata, seperti Srilanka, Chad, Zambia, dan Etiopia yang termasuk low income country, tetapi punya utang cukup besar.
Indonesia pun memiliki utang yang tak sedikit, beberapa pakar ekonomi sudah memperingatkan bisa jadi nasib bangsa ini menyusul daftar negara bangkrut di atas, jika tidak berbenah dari sekarang. Pemerintah mengklaim jumlah utang negara masih di bawah ambang, masih aman dan terkendali.
Remnya ada pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam ketentuan tersebut, ambang batas rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 60 persen. Sementara per 31 Juli 2022, rasio utang terhadap PDB sebesar 37,91 persen. Masih jauh di bawah ambang batas tadi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, angka rasio utang Indonesia relatif modest dibandingkan negara-negara lain. Sementara pada 2021, rasio utang Indonesia sebesar 40,7 persen terhadap PDB. βIni menunjukkan bahwa Indonesia menggunakan fiskalnya dengan sangat prudent dan hati-hati,β katanya dalam rapat dengan Komisi XI DPR pada Rabu, 31 Agustus 2022. Dampaknya, pemulihan ekonomi cukup baik dan impresif hingga kuartal kedua 2022.
Selama pandemi, kebutuhan pembiayaan memang meningkat pesat, karenanya hampir semua negara mengambil kebijakan melebarkan defisit untuk menjaga kondisi perekonomian, sehingga berdampak pada kenaikan rasio utang terhadap PDB. Kenaikan rasio utang di Indonesia periode 2020-2021 mencapai 10,8 persen. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Thailand sebesar 17 persen, Filipina 22,1 persen, China 11,8 persen, Malaysia 13,6 persen, dan India 16,5 persen.
Untuk mengendalikan rasio utang, pemerintah menurunkan defisit APBN dan menjalankan konsolidasi fiskal dengan target defisit APBN di bawah 3 persen pada 2023. Ada tujuh langkah konkret pemerintah untuk menurunkan kebutuhan pembiayaan utang, serta mengelola dan memastikan kelancaran pembayaran pokok dan bunga utang.
Pertama, mengoptimalisasi pembiayaan non-utang, seperti optimalisasi Sisa Anggaran Lebih (SAL) dan pengendalian pembiayaan investasi. Kedua, memprioritaskan sumber domestik untuk mengendalikan risiko nilai tukar, menyeimbangkan tenor pendek β menengah β panjang untuk mengendalikan risiko refinancing, dan mengutamakan tingkat bunga tetap untuk mengendalikan risiko tingkat bunga.
Ketiga, mengoptimalisasi sumber pembiayaan alternatif dan berkelanjutan, seperti blended financing dan public private partnership/KPBU, penjaminan pemerintah, SDGs dan green financing, termasuk non-utang untuk mengurangi beban utang baru. Keempat, pendalaman pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik untuk memperkuat kestabilan pasar keuangan dalam negeri.
Kelima, melaksanakan skema loan conversion dan liability management melalui buyback dan debt switch untuk SBN secara konsisten. Keenam, bersinergi dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang bakal berakhir pada 2022. Ketujuh, menerapkan reformasi fiskal yang komprehensif, baik dari sisi pendapatan maupun belanja melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Selain berbagai upaya tadi, penerbitan SBN ritel sebagai salah satu diversifikasi instrumen pembiayaan juga menunjukkan dampak positif pada pemulihan ekonomi. Hasil penerbitan tersebut dapat digunakan untuk mendukung pembangunan dan pemulihan masa pandemi. Investor ritel atau masyarakat domestik -baik institusi maupun individu, juga menerima bunga atau imbal hasil dari SBN tersebut.
Jika disimpulkan dari ke tujuh langkah pemerintah menjaga stabilitas ratio utang plus langkah terakhir yaitu penerbitan SBN ritel utang tetap berputar pada ekonomi non riil alias bermain saham, surat berharga yang mana sejatinya itu adalah utang.