RESONANSI

Bilal Ajari Kita Soal Arti Kemerdekaan

Euforia sebagian masyarakat menyemarakkan kemerdekaan RI ke-79 dengan berbagai macam cara penyambutannya. Ikonnya Semarak Kemerdekaan. Pertanyaannya, kemerdekaan dalam bentuk apa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengajak sidang pembaca menyimak kembali sejarah tentang memaknai arti kemerdekaan yang hakiki.

Ummat Islam tentu tak asing lagi dengan sosok sahabat Rasul Saw yang satu ini, kerena dia adalah muadzin perdana pilihan insan yang agung Rasul Saw, Bilal bin Rabah.

Penulis tidak akan membahas soal kemerduan suara Bilal saat mengumandangkan adzan tanda masuk waktu shalat, tapi akan mencoba mengajak sidang pembaca dari sisi kemerdekaan jiwa seorang anak manusia bernama Bilal.

Status sosial Bilal bukanlah dari anak seorang pejabat atau anak orang kaya, bukan juga anak cendikiawan, dan bukan pula dari anak seorang presiden atau pimpinan partai, tapi Bilal berangkat dari sosok yang dilahirkan dari seorang ibu bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam, sehingga Bilal sering dipanggil dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal seorang budak hitam yang tidak bergelar cendikiawan, pakar, kiai yang bersorban, dia tidak pula menjadi seorang penjilat yang mengemis-ngemis jabatan, tapi sosok Bilal adalah berstatus seorang budak yang secara fisik masih di bawah kendali majikannya tapi beliau memiliki kemerdekaan jiwa yang benar-benar merdeka. Secara fisik majikannya bisa berbuat apa saja termasuk menyiksa Bilal untuk kembali ke keyakinan nenek moyangnya, tapi Bilal tetap teguh mempertahankan kemerdekaan jiwanya untuk tetap mengucapkan, Ahad…Ahad…Ahad…(Allah Maha Esa…Allah Maha Esa…Allah Maha Esa) di tengah-tengah siksaan yang mendera fisiknya.

Pertanyaan berikutnya, kenapa sosok Bilal yang telah dimerdekakan oleh Abu Bakar dengan cara menebusnya dari majikannya lantas jadi sosok yang mulia di hadapan insan paling mulia pula, Rasul Saw?

Jawabnya, Rasul Saw mengajarkan kepada kita bahwa kemerdekaan jiwa seseorang tentang ketauhidannya lebih utama dari dunia dengan segala isinya.

Bilal memberi pelajaran bagi kita, bahwa kemerdekaan jiwa dengan tetap teguh berpegang kepada kalimat tauhid adalah paling berharga bagi kehidupan seorang yang beriman.

Disadari atau tidak, kini tidak sedikit muncul orang-orang yang penampilan fisiknya perlente, berderet gelar namun jiwanya belum merdeka, mereka tak ubahnya sebagai budak yang telah menuhankan hawa nafsunya. Terlihat merdeka secara fisik, tapi jiwanya tergolong budak. Terlihat pula keren sebagai pimpinan partai, tapi sebenarnya jiwanya terbelenggu. Sungguh ironis.

Oleh karenanya, jangan malu-malu belajar lagi tentang arti kemerdekaan sebagaimana yang dicontohkan Bilal yang fisiknya budak tapi jiwanya merdeka.[]

Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial.

Artikel Terkait

Back to top button