BIN Kembali Menakut-nakuti Rakyat dengan Radikalisme
Baca juga: Jadilah Radikal, Jangan Teroris
Di tanah air, kata radikal ini adalah senjata ampuh untuk menyingkirkan lawan. Saat ini jagad perpolitikan ramai dengan pemecatan 75 pegawai KPK karena tidak lolos dalam Tes Wawasan Kebangsaan. Tes yang dilakukan pimpinan KPK bekerjasama dengan Badan Kepegawaian Negara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan lain-lain, mengukur tingkat moderasi dan radikalisme karyawan.
Maka dalam tes ini mereka ditanya tentang sikap mereka terhadap HTI, FPI, Habib Rizieq Syihab, Pancasila dan Islam dan semacamnya. Mereka yang setuju dengan HTI, FPI dan Habib Rizieq Syihab tentu langsung digolongkan radikal dan tidak akan lulus. Tapi menurut Novel Baswedan, meskipun mereka jawabannya moderat, tapi karena sudah ditarget, mereka pun disingkirkan. Para penyidik dan penyelidik kasus-kasus besar di KPK saat ini disingkirkan. Giri Suprapdiono dengan terang-terangan menyatakan bahwa KPK harus bersikap radikal dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dan nampaknya mereka yang digolongkan radikal, diberhentikan dari KPK.
Penyingkiran terhadap tokoh-tokoh yang dianggap radikal ini sebenarnya berlangsung sejak periode pertama Jokowi menjabat presiden (2014-2019). Saat itu kita ingat bagaimana Jokowi memecat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Rizal Ramli dipecat karena sikap radikalnya menolak reklamasi pantai di Jakarta, sedangkan Gobel disingkirkan karena melarang minuman keras beredar luas di tanah air.
Senjata radikal juga digunakan untuk menekan pegawai-pegawai professional di BUMN. Kasus yang terbaru adalah mundurnya Direktur Pemeliharaan dan Perbaikan PT PAL Kuntjoro Pinardi karena ia dan keluarganya ditekan oleh sekelompok orang dengan tuduhan radikal. Pasalnya gara-gara Kuntjoro tahun 2014 pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera.
BUMN-BUMN kini bukan hanya karyawannya dibersihkan dari radikalisme, tapi juga masjid-masjidnya disterilkan dari pengaruh radikal. Maka bukan rahasia lagi bahwa masjid-masjid pelat merah itu sekarang diseleksi penceramah yang mengisi kajian di sana. Dai-dai yang pro pemerintah digelar karpet merah dan diberi honor yang lumayan.
Mubaligh-mubaligh yang terkenal pun kini dianggap radikal. Seperti Prof Din Syamsuddin, Ustaz Abdussomad, Ustadz Adi Hidayat, Ustaz Bachtiar Nasir, Haikal Hasan dan lain-lain. Pasalnya hanya karena mereka sering mengritik kebijakan pemerintah.
Pada pidatonya 1 Juni 2021 lalu, Presiden Jokowi kembali menggaungkan bahaya radikalisme. Kata Jokowi, “Ketika konektivitas 5G melanda dunia maka interaksi antar dunia juga akan semakin cepat. Kemudahan ini bisa digunakan oleh ideolog-ideolog transnasional radikal untuk merambah ke seluruh pelosok Indonesia, ke seluruh kalangan, dan keseluruh usia tidak mengenal lokasi dan waktu. Kecepatan ekspansi ideologi transnasional radikal bisa melampaui standar normal ketika memanfaatkan disrupsi teknologi ini. Saudara-saudara sebangsa dan setanah Air menghadapi semua ini perluasan dan pendalaman nilai-nilai Pancasila tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa. Diperlukan cara-cara baru yang luar biasa. Memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama revolusi industri 4.0.”
Makanya tidak heran bila, BIN kembali menggaungkan ancaman radikalisme. Karena ini adalah senjata untuk melemahkan oposisi dan melemahkan kekuatan Islam. Jadilah pak turut dan jangan jadi radikal, kata mereka. Wallahu azizun hakim.
Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru