Blunder Influencer
Di tengah pandemi yang sedang melanda negeri, sepatutnya jika para pemegang kebijakan memiliki prioritas untuk penanggulangan wabah. Menetapkan kebijakan yang strategis untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Berikut mengupayakan langkah-langkah agar resesi yang menyapa negeri tidak sampai berefek kepada masyarakat. Begitulah seharusnya tabiat seorang pemimpin negara yang negarawan.
Tidak sebaliknya, menghamburkan uang hanya untuk sekedar membayar influencer. Bukan hanya tidak bermanfaat, namun juga menyakiti hati rakyat. Seperti diberitakan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan ada Rp1,29 triliun total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital, sekitar Rp90,45 miliar di antaranya digunakan untuk jasa influencer.
Anggota Fraksi PKS Andi Akmal Pasluddin ikut berkomentar, menganggap pemerintah masih meraba-raba akan kondisi masyarakat. Hingga menggolontorkan dana Rp 90,45 miliar untuk influencer dan pencitraan di tengah pandemi Covid-19. Menurut beliau, anggaran sebesar itu kurang pas diberikan untuk influencer.
Memang banyak influencer yang muncul di kala pemerintah meluncurkan berbagai macam kebijakan termasuk untuk mengkampanyekan omnibus law beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata masih berdasar temuan ICW, 34 kementerian dan non-kementerian termasuk dua lembaga hukum, hampir semuanya menggunakan jasa influencer. Wajar jika Egi Primayoga dari ICW mempertanyakan peran kehumasan pemerintah. Namun, pihak istana justru menyatakan influencer merupakan pelengkap jubir dan humas pemerintah, karena ‘mampu menyentuh akar rumput dengan bahasa yang mudah dicerna’ (bbc.news).
Berkebalikan, pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah, menyebut penggunaan influencer untuk sosialisasi program atau kebijakan pemerintah selama ini jutru tidak efisien. Karena pesan yang disampaikan mereka tidak sampai ke masyarakat. Karena menurut beliau justru para influencer tidak peduli dengan materi atau programnya, yang penting bagi mereka adalah kerja dibayar. Maka, pantas jika dikatakan influencer bikin blunder.
Terlebih bagi masyarakat, sejatinya kebijakan yang diharapakan dari pemerintah adalah kebijakan yang bisa menyelesaikan problematika mereka sebagai manusia. Yang dibutuhkan rakyat adalah solusi solutif dengan ketulusan perhatian, bukan sekedar pencitraan. Lebih dari itu, influencer yang dibayar untuk memuluskan program pemerintah menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memberikan pelayanan atau meriayah rakyat. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan besarnya ketidakpercayaan rakyat kepada penguasa serta media yang dikendalikan. Wajar hal ini terjadi, sebab selama ini berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah tidak pro-rakyat, sebaliknya memihak kepada para kapitalis atau pengusaha.
Alih-alih menjadi pelayan rakyat, sistem kapitalisme demokrasi yang dianut negeri ini hakikatnya hanya menempatkan negara hanya sebagai regulator. Penguasa pun memiliki kepentingan untuk memuluskan kepentingan mereka dengan berbagai cara guna mempengaruhi opini publik seolah program atau kebijakan tersebut berpihak kepada rakyat. Salah satu bukti bahwa negara adalah pelayan para pengusaha, terlihat pada pembentukan satgas untuk melakukan konsultasi kepada publik terkait RUU omnibus law. Satgas tersebut ternyata berisikan sejumlah kalangan yang mayoritas berlatarbelakang pelaku usaha. Bahkan dari 172 nama yang masuk, tidak terlihat perwakilan buruh maupun pegiat lingkungan hidup.
Maka, nampak gamblanglah untuk memuluskan berbagai kebijakannya pemerintah, mereka menggunakan jasa influencer. Influencer yang memiliki jutaan pengikut diharapkan dapat mempengaruhi opini publik seolah-oleh kebijakan tersebut pro kepada rakyat. Sungguh, tak bisa dipungkiri hal ini adalah wajah kapitalisme demokrasi. Sistem ini bukan hanya rusak, namun juga berupaya untuk menutupi kerusakannya dengan berbagai cara meski harus membohongi rakyat.
Sangat berbeda dengan Islam. Di dalam sistem Islam, negara adalah ro’in atau pelayan rakyat sehingga negara tidak akan menggunakan bahkan tidak memerlukan jasa influencer. Tersebab, setiap kebijakan yang dibuat oleh pemimpin Islam adalah kebijakan untuk mensejahterakan masyarakat. Kebijakan tersebut semata-mata untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyat baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan dasar mereka. Khilafah membuat kebijakan bukan untuk pencitraan apalagi melayani kepentingan para konglomerat.
Seorang khalifah adalah pemimpin yang benar-benar mengayomi, menyayangi dan membela rakyat. Mereka akan takut untuk berbuat zalim, karena ada ancaman terhadap pelakunya sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Takutlah kamu akan doa seorang yang teraniaya, tersebab tidak ada hijab atau penghalang di antara dia dengan Allah” (shahih Muslim).
Bagitu juga kecintaan dan kepercayaan rakyat kepada Khalifah bukan dari hasil pencitraan tapi perasaan yang muncul karena ketulusan. Pemimpin di dalam Islam bukan sekedar jabatan yang diperebutkan, namun siapa saja yang diamanahkan jabatan ini maka akan faham beban tanggung jawab yang harus dipikulnya. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Amanah seorang pemimpin Islam pun akan bisa mengurusi rakyat dengan baik karena setiap kebijakan yang dihasilkan adalah bersumber dari aturan Allah SWT. Kebijakan tersebut juga diintegrasikan di berbagai macam bidang kehidupan. Di sisi lain, warga negaranya akan menerima kebijakan tersebut sebagai bentuk ketaatannya terhadap syariat Islam. Bukan bersumber dari keterpaksaan menerima kebijakan yang bertentangan dengan fitrah keimanannya. Wallahu a’lam bi shawab.
Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)