Blunder Stafsus Milenial, Sejak Awal Tak Ideal
Di tengah wabah COVID-19 , salah satu stafsus milenial justru membuat geger Indonesia.
Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com,14/04/2020, telah beredar surat atas nama Andi Taufan Garuda Putra dengan kop Sekretariat Kabinet dan ditujukan kepada camat di seluruh Indonesia.
Surat itu merupakan permohonan agar para camat mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) demi melawan wabah virus corona. Anehnya, sang stafsus menggunakan nama perusahaan pribadinya, yakni PT Amartha Mikro Fintek (Amartha).
Wajar jika publik ramai bersuara. Andi dianggap melakukan praktik kolusi karena memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, yaitu perusahaan yang dipimpinnya. Meski pada akhirnya Andi Taufan mengklarifikasi dan meminta maaf sekaligus telah menarik surat yang dibuatnya.
Anggota Ombudsman, Alvin Lie meminta Presiden Jokowi mengevaluasi keberadaan para staf khusus milenial. Mereka cukup sering melakukan blunder dan kegaduhan.
Sejak awal, memang pembentukan stafsus milenial memang tak ideal. Dengan gaji yang fantastis, namun mereka tidak memiliki tugas yang strategis. Wajar, jika publik sejak awal menganggap mereka itu ada hanya seperti anak magang di istana kepresidenan.
Yang jelas, mereka ditunjuk sebagai bentuk pembagian kue kekuasaan setelah terpilihnya kembali Pak Jokowi di periode kedua. Bahkan, sejak awal banyak kalangan yang mengatakan bahwa keberadaan stafsus Milenial sejatinya hanya buang-buang uang negara. Bagaimana tidak, gaji 51 juta dengan tupoksi hanya sebagai pemberi usul dan saran buat Presiden.
Usul dan saran adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Kalau hanya sekedar bertugas untuk memberikan usul atau saran, presiden tak perlu membuat stafsus milenial. Cukuplah menjadi pemimpin yang mau mendengar jeritan rakyat. Tidak anti-kritik, apalagi menggunakan kekuasaan untuk menggebuk lawan politik. Hal tersebut lebih bijak untuk dilakukan.