Borgol KPK, Beri Efek Jera Koruptor?
Tentang sistem yang diterapkan di negeri ini yaitu sistem demokrasi kapitalisme. Landasan sekularisme, memisahkan agama dengan kehidupan termasuk negara, adalah pondasi yang melahirkan berbagai macam aturan di negeri ini. Dengan demikian, manusialah yang akan membuat sistemnya sendiri. Dengan keterbatasan akalnya, maka teramat lemahlah peraruran yang sudah diproduksinya. Coba lihat produk hukum dari sistem demokrasi sekuler, tak pernah memberikan efek jera pada pelaku kejahatan. Misal, yang baru keluar penjara karena kasus pembunuhan pun bisa melakukan lagi kejahatan serupa bahkan dengan gaya yang lebih tidak manusiawi. Di penjara, para penjahat lebih nyaman karena bisa berteduh dan terjamin makannya. Bahkan penjaranya koruptor layaknya kamar hotel. Mereka hanya pindah kamar saja, sedangkan fasilitasnya boleh diangkut ke dalam penjara. Sesekali, mereka punya jatah jalan-jalan mengunjungi keluarga atau keluar kota. Nanti, kalau ada wawancara atau sidak, barulah kamar penjara diatur bak pesakitan.
Hukum buatan manusia ini banyak kurang lebihnya dan tidak manusiawi. Aroma ketidakadilan pun menyeruak di sana. Jika pelaku kriminal adalah orang biasa, maka akan diberi hukuman yang tegas. Tapi jika pelaku kriminal adalah yang memiliki kekayaan dan kedudukan, seperti penjahat kerah putih, maka hukumpun seakan tumpul dan penuh tawar menawar.
Jika demikian adanya, bagaimana tindak pidana korupsi akan bisa diberantas? Laksana menegakkan benang basah, maka kasus korupsi takkan bisa selesai. Kasus-kasus yang terungkap seperti fenomena gunung es. Karena yang tak terungkap dan sudah menjadi rahasia umum pun sangat banyak. Lihatlah betapa gegap gempitanya rakyat Cianjur ketika bupatinya terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Mereka pun mengadakan selamatan atas peristiwa tersebut (tempo.co, 14/12/2018). Artinya, perilaku korup itu sudah menjadi rahasia umum.
Pangkal dari tumbuh suburnya perilaku korup adalah diterapkannya sistem demokrasi. Prof. Mahfud MD pun pernah memberikan pernyataan bahwa malaikat masuk dalam sistem demokrasi akan menjadi iblis. Saling sandrea dengan sogok menyogok telah jadi kebiasaan. Demokrasi ini mahal. Untuk menyelenggarakan pesta lima tahunan diperlukan dana yang tak sedikit. Lalu, darimana kah dana yang besar itu? Tentu tak cukup hanya dari APBN, atau pajak dari rakyat. Maka Disinilah peran pengusaha. Pengusaha pun memerlukan regulasi yang lunak agar dia mudah mengeruk SDA dengan rakus, maka pengusaha perlu legislatif dan eksekutif. Untuk melindungi segala aset pengusaha dari rakyat sang pemilik sah SDA, maka disinilah perlu peran yudikatif. Lingkaran setan yang tak akan berhenti dan terus memakan korban dari pihak rakyat.
Faktor internal, sistem demokrasi yang sekuler ini telah melahirkan individu yang mencintai dunia dan lupa akhirat. Para penguasa terlupa bahwa tugas mereka sesungguhnya adalah untuk mengurusi urusan rakyat. Sebaliknya, yang mereka lakukan adalah memperkaya diri sendiri. Karena dalam benak mereka, kebahagiaan sejati adalah dengan banyaknya harta yang didapat dengan cara apapun, tak peduli halal dan haram. Tak pernah terpikir bahwa akan ada hari pertanggungjawaban. Hingga tak merasa bersalah ketika melakukan korupsi.
Borgol, jaket oranye, tak cukup mampu memberi efek jera pada pelaku korupsi. Dan tak cukup kuat menghentikan lingkaran setan kasus korupsi. Tersebab masih di sitem demokrasi, sistem yang justru menggemukkan gurita korupsi.
Perlu perubahan mendasar, yaitu mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam. Sistem Islam adalah sistem yang dibawa oleh Rasulullah dan merupakan sistem terbaik untuk manusia bahkan seluruh alam. Hal ini sudah dijamin oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.” (TQS. Al-Anbiya: 107).
Jaminan ini semestinya menjadi landasan kuat untuk kita merubah sistem rusak ini. Bukan hanya mengubah cara penangkapan atau hukuman. Wallahu a’lam []
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan