OPINI

BSI Pasca-Merger: Raksasa Baru yang Masih Mencari Jiwa

Dengan aset menggempita di atas Rp300 triliun, Bank Syariah Indonesia (BSI) hadir bagai raksasa yang ditunggu-tunggu.

Lahir dari mega merger tiga bank syariah plat merah—Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah—pada 1 Februari 2021, BSI bukan hanya menjadi bank syariah terbesar di Indonesia, tetapi juga masuk dalam jajaran 10 besar bank syariah dunia. Sebuah prestasi gemilang di atas kertas.

Namun, di balik gempita pencapaian numerik itu, pertanyaan besar menganga: Sudah sejauh mana sang raksasa ini berjalan di rel yang benar—tidak hanya membesar, tetapi juga membumi?

Analisis terhadap laporan keuangan dan berbagai pemberitaan media menunjukkan bahwa BSI pasca-merger masih menghadapi tegangan klasik antara mengejar profitabilitas pasar dan memegang teguh filosofi inti ekonomi syariah: keadilan dan pemberdayaan.

Melesatnya Angka, Kaburnya Visi

Data yang dipaparkan BSI di depan publik memang mencengangkan. Melansir laporan keuangan yang banyak dikutip media, di kuartal I 2024, laba bersih BSI disebut-sebut melesat 31,9% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp1,95 triliun.

Pembiayaan juga tumbuh pesat, didorong oleh segmen konsumer seperti properti dan kendaraan bermotor. Dari sisi bisnis murni, kinerja BSI patut diacungi jempol.

Namun, bila menyelami lebih dalam komposisi pembiayaannya melalui berbagai analisis yang beredar, gambaran yang muncul tidak sepenuhnya sejalan dengan narasi “pemberdayaan”. Pemberitaan sejumlah media nasional kerap menyoroti bahwa porsi pembiayaan konsumer (seperti mobil dan properti syariah) masih mendominasi.

Sementara itu, pembiayaan untuk segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)—yang menjadi tulang punggung ekonomi dan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia—perkembangannya sering dianalisis belum seagresif pembiayaan konsumer.

Berbagai opini yang muncul di media menyebutkan ini adalah dilema klasik. Membiayai UMKM dengan akad bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah dinilai berisiko tinggi dan membutuhkan tenaga analis yang lebih ahli.

Di sisi lain, akad murabahah (jual beli) yang pada praktiknya lebih mudah dikelola dan lebih cepat menghasilkan pendapatan, dilaporkan masih mendominasi portofolio perbankan syariah, termasuk BSI.

UMKM: Antara Komitmen dan Realita

Narasi tentang peran bank syariah dalam memberdayakan UMKM sering kali terbentur dengan realitas operasional yang banyak dipotret media.

Cerita dari pelaku UMKM yang diangkat di berbagai portal berita kerap mirip: awalnya tertarik dengan skema bagi hasil yang lebih adil, tetapi pada praktiknya menghadapi proses yang dinilai rumit dengan persyaratan dokumen dan jambatan yang tidak mudah.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button