Bu Kasman, Teladan Wanita Hebat
Laki-laki hebat, itu tidak sendiri. Di balik kesuksesan seorang lelaki, biasanya ada wanita hebat. Entah sang ibu atau istri.
Cerita di bawah ini, terjadi di era perjuangan kemerdekaan RI dahulu. Sang lelaki adalah Mr. Kasman Singodimedjo, sedang sang wanita adalah Bu Kasman, Hj. Soepinah Isti Kasiyati. Mr. Kasman sendiri bukan orang sembarangan. Ketika muda menjadi Ketua Umum Jong Islamieten Bond (JIB), kemudian Daidancho PETA Jakarta, lalu Anggota PPKI, Ketua KNIP, Jaksa Agung, dan Menteri Muda Kehakiman. Di luar itu, Mr Kasman adalah tokoh Masyumi dan Muhammadiyah.
Mr. Kasman, sepanjang hidupnya, tiga kali duduk di persidangan. Jadi terdakwa. Semua karena perjuangan.
Pertama, pada pertengahan 1940. Sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Jakarta, Mr. Kasman berpidato di Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat di Bogor. Mr. Kasman adalah seorang orator ulung. Kata orang-orang, Mr. Kasman dan Bung Karno, sama-sama orator. Bedanya, Bung Karno minum sebelum pidato, sedangkan Mr. Kasman, pidato dua jam pun tanpa minum.
Nah, di akhir pidato di Bogor itu Mr. Kasman mengucap, “….untuk Indonesia Merdeka.’ Kalimat inilah yang membuat ia ditangkap dan ditahan oleh polisi kolonial Belanda. Empat bulan beliau ditahan, sebelum akhirnya bebas dalam persidangan.
Kedua dan ketiga Pak Kasman menjadi korban fitnah komunis (PKI). Pada 30 September 1960, Pak Kasman divonis tiga tahun penjara akibat fitnah yang diakibatkan berita yang ditulis seorang wartawan yang berafiliasi dengan komunis. Pidato Pak Kasman –sebagai tokoh Masyumi — di Magelang pada 31 Agustus 1958, dimuat secara terpotong-potong, sehingga Pak Kasman dituduh mendukung PRRI.
Ketiga, oleh PKI, Pak Kasman dan sejumlah tokoh Muhammadiyah, termasuk Buya Hamka, KH Ghazali Sahlan dan Jusuf Wibisono, ditangkap dengan tuduhan mengadakan rapat gelap GAPI untuk membunuh Bung Karno. Semua itu fitnah, sebab rapat di Tangerang yang difitnahkan kepada mereka itu sama sekali tidak pernah terjadi.
Nah, kembali ke Bu Kasman. Pada era 1940-an itu, Mr Kasman dan keluarga tinggal di Cempaka Putih. Tahun ’40, wilayah itu masih setengah hutan. Bu Kasman sudah mengajar. Tahu suaminya ditahan, ternyata Bu Kasman tenang-tenang saja. Nggak panik.
Kata Bu Kasman, “Saya tidak merasa resah, sedih dan lain-lainnya. Saya tetap melaksanakan tugas seperti biasanya. Pernah waktu itu Pak Kadar, mertua Anwar Tjokroaminoto, menegur saya: “Kok Bu Kasman tenang dan biasa saja, sedang suaminya sekarang sedang ditahan, kenapa tidak ada bayangan kesedihan di wajah Ibu?”
Lantas saya jawab: “Memang saya tahu bahwa suami saya sedang ditahan, tapi apalah daya saya sebagai seorang perempuan. Kalau saya pergi pula ke Bogor, kan anak-anak saya bisa tidak makan. Toh Allah akan memeliharanya, karena dia berjuang di jalan kebenaran, dan umat tentu tidak akan membiarkannya!”