Bu Kasman, Teladan Wanita Hebat
Pak Kadar pun hanya geleng-geleng kepala saja. Bu Kasman kalau pergi dan pulang mengajar memang selalu lewat di depan rumah Pak Kadar. (Hidup itu Berjuang, hal. 19)
Hal yang sama, terjadi lagi pada 1949. Saat Agresi Belanda II ke Yogyakarta. Saat itu, Mr. Kasman pindah ke Yogya, karena semua pembesar dan pejabat tinggi RI pindah Ibu Kota. Nah, saat Yogya tiba-tiba diserang Belanda, maka Pak Kasman dan sejumlah tokoh Masyumi langsung menyingkir keluar. Bergerilya. Sedangkan keluarganya, tetap berada di dalam kota.
“Saya merasakan senang juga hidup sebagai isteri seorang pembesar: waktu itu Pak Kasman sebagai Jaksa Agung, Kepala Kehakiman Militer Kementerian Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan lain sebagainya. Tetapi tiba-tiba semuanya harus ditinggalkan, sehingga mula-mula saya merasa canggung juga. Saya ditinggalkan bersama-sama dengan anak-anak di rumah Jalan Opak No. 3 Yogyakarta. Hubungan dengan Pak Kasman terputus sama sekali, selama dia di daerah gerilya segala sesuatunya tidak dapat diharapkan lagi dari suami; maka selamat saja jiwa dan badan syukurlah.
Yang saya pikirkan pertama sekali ialah untuk dimakan dengan anak-anak, karena beras tidak ada dan apapun tidak ada yang ditinggalkan sebagai persediaan. Mula-mula saya bingung juga memperhatikan orang berbondong-bondong ke sana ke sini, yang nampaknya tak ada tujuannya. Ada yang pergi karena takut tinggal di rumahnya, dan ada juga yang mencari beras atau lain-lainnya untuk dimakan. Waktu itu uang tidak ada. Kalau orang memerlukan beras, maka caranya dengan ditukar dengan kain panjang, kain sarung atau baju, atau barang apa saja yang bisa diterima oleh yang mempunyai beras itu. Jadi yang berlaku bukan jual-beli lagi, melainkan barter, tukar-menukar.
Besoknya saya mencoba seperti itu, membawa sehelai kain panjang untuk ditukarkan, dan saya ternyata memperoleh beras beberapa kilogram. Cukup untuk dimakan bersama dengan anak-anak beberapa hari. Begitulah saya lakukan beberapa kali.
Rupanya memang nasib saya baik, berkat pertolongan Tuhan juga saya tidak banyak menemui kesulitan. Sering malahan orang yang punya beras meminta supaya kain yang sedang saya pakai misalnya, dapat mereka tukar dengan berasnya. Entah kain panjang, kain sarung, atau setagen yang sedang saya pakai ditaksir oleh orang pemilik beras. Mungkin karena kebetulan cara saya memakai barang-barang itu menarik, padahal barang-barang itu kadang-kadang sudah usang, tetapi orang mau saja minta ditukar dengan beras. Berapa tukarannya sayalah yang menentukan. Pernah sehelai setagen saya ditukar dengan beras 38 kilogram, sehingga orang lain tercengang dan heran melihatnya, Mungkin juga hal itu dipengaruhi oleh sikap saya yang ramah. Waktu itu orang yang berjualan beras duduk di tepi jalan atau di pinggir pasar.
Sayapun kalau tawar-menawar lalu turut duduk bersimpuh di dekat mereka. Orang orang lain banyak yang melakukan tawar menawar itu dengan berdiri saja, bahkan menawar barang apa yang disukainya ditunjukkan dengan kakinya saja dan kasar nampaknya.
Lama-kelamaan saya dapat meningkatkan usaha saya sedikit demi sedikit, terkumpullah modal ala kadarnya. Apalagi di Yogyakarta, Pak Kasman aktif juga di Muhammadiyah, maka ibu-ibu dari Aisyiyah yang banyak di antaranya pengusaha batik, membantu saya dengan batiknya untuk diperdagangkan. Saya pun membawa batik-batik mereka itu, menjadi pedagang batik dari kampung ke kampung di sekitar Yogyakarta.
Saya membawa batik dengan motif yang bagus-bagus yang disukai oleh orang-orang kampung dan desa. Batik itu mereka tukar dengan beras, telur, atau sayur-sayuran dan sebagainya, yang saya bawa ke kota, lalu di kota saya perdagangkan lagi. Dengan begitu saya mulai mempunyai langganan di desa-desa, mereka itu menunggu saya walaupun ada orang lain yang membawakan batik ke desa.
Kadang-kadang karena terlalu jauh berjualan saya pulang ke kota sudah malam. Melewati penjagaan tentara Belanda. Tetapi untung saya belum pernah ditanya apa-apa oleh mereka itu: padahal sebenarnya saya tidak mempunyai kartu-penduduk atau tanda surat jalan. Tetapi saya berjalan tenang saja, berusaha jangan menimbulkan kecurigaan. Orang-orang yang jalannya cepat-cepat, tengok kanan tengok kiri, malahan menengok ke belakang, sering dihentikan oleh penjaga-penjaga tentara Belanda itu ditanyai macam-macam.