Bungkam Soal Uyghur, Intervensi Menyubur
Connelly mengatakan perpecahan sosial dan kemunculan sentimen terhadap etnis China-Indonesia dari kaum konservatif-Muslim benar-benar mempengaruhi politik domestik selama dua tahun terakhir, terutama ketika gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 lalu (Cnnindonesia.com, 21/12/2018).
Lemah karena Investasi?
Bagai buah simalakama, ya begitulah kira-kira yang dirasakan oleh pemerintah Indonesia atas persoalan krisis kemanusiaan di Uyghur. Bagaimana tidak, masalah yang Menimpa Muslim Uyghur sangatlah keji bahkan hampir seluruh dunia mengecam. Tanpa terkecuali negara-negara yang notabene sangat sedikit penganut muslim, namun mereka turun ke jalan untuk membela Muslim Uyghur.
Namun, apa yang terjadi di negeri yang notabenenya mayoritas Muslim seperti Indonesia? Pemerintah diam seribu bahasa tak bergeming sedikitpun atas penyiksaan dan penindasan yang tidak beradab di Uyghur. Pasalnya sikap diamnya pemerintah Indonesia atas kasus Uyghur diantaranya disebabkan ketergantungan Indonesia terhadap utang. Padahal investasi infrastruktur yang ada masih jauh dari keberpihakan kepada rakyat.
Di sisi lain, ingin membela demi integritas pemerintah kepada rakyat, namun berat sebab ketergantungan pemerintah Indonesia kepada China sangatlah tinggi. Seperti yang dikatakan oleh pengamat politik internasional dari Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, menganggap pemerintahan Jokowi memang harus berhati-hati mengangkat isu ini kepada pemerintah China sebab, ketergantungan Indonesia terhadap China sangatlah tinggi (Cnnindonesia.com, 20/12/2018).
Sikap pemerintah Indonesia yang mendiamkan kekejian yang dilakukan oleh Cina di Uyghur dengan alasan hutang dan lain-lain merupakan dampak ketergantungan pada pemerintahan Cina. Terbukti, investasi yang digelontorkan adalah jalan penjajahan. Sebab dengan alasan itulah pemerintah lemah dan tak bergeming terhadap krisis kemanusiaan di Uyghur.
Lebih dari itu, alasan pemerintah yang lain adalah hubungan bilateral yang baik antara Indonesia dan Cina. Ditambah sekat nasionalisme yang berdiri kokoh memecah belah negeri-negeri muslim membuat pemerintah lagi-lagi harus rela, bahkan tega menyaksikan pembantaian demi pembantaian kaum muslimin di Uyghur. Padahal Indonesia adalah negara mayoritas Muslim yang semestinya punya power melakukan tindakan tegas untuk menolong saudara seakidah. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” [Shahih Muslim No.4684]
Bebas dari Intervensi
Negeri-negeri muslim harus bersatu melawan intervensi asing dan tidak bergandeng mesra dengan para penjajah. Investasi hanyalah alasan klise yang tak menguntungkan rakyat luas, justru jalan penjajahan atas Kaum Muslim. Dengan alasan utang, investasi dan lain-lain. Kafir penjajah akan leluasa mengintervensi dengan pinjaman hutang yang berkali-kali lipat bunganya. Yang entah kapan pemerintah dapat melunasinya. Sesungguhnya itu semua hanya jebakan agar negeri-negeri Muslim tak mampu bangkit dan akan selalu bergantung pada penjajah.