Buruk Laku, Lembaga Survei Harus Dibedah
Kebiasaan itu terus berlanjut ketika dia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Apalagi setelah menjadi presiden. Istana menjadi “kolektor” lembaga survei. Seorang akademisi satu almamater dengan Jokowi ditunjuk menjadi koordinatornya.
Seorang pengamat asing yang punya akses ke kalangan istana mengaku mendapat cerita, lebih dari satu tahun terakhir meja kerja Jokowi bersih dari berkas laporan kerja. Hanya berisi tumpukan hasil lembaga survei.
Setiap hari fokus Jokowi dan timnya mencermati grafik-grafik dan angka-angka naik turunnya elektabilitasnya. Salah satu kesimpulan saat itu, kalau Jokowi ingin menang kembali, maka dia harus menggandeng Prabowo. Berdasarkan survei, Prabowo merupakan satu-satunya lawan potensial.
Kalau tidak bisa menggandeng Prabowo, maka harus diupayakan lawan Jokowi hanya satu. Lawan itu juga harus Prabowo. Sebab dari sisi kalkulasi survei, Prabowo lebih mudah dikalahkan. Kalkulasi itu sekarang mulai dipertanyakan. Mereka kelihatannya salah hitung.
Soal ini juga diakui oleh Andi Wijayanto, Ketua Tim Cakra, salah satu sayap pemenangan Jokowi. Tugas mereka yang pertama memastikan lawan Jokowi hanya satu.
Tugas ini sukses dilaksanakan melalui penetapan presidential threshold. Partai atau gabungan partai yang bisa mengusung paslon harus memiliki 20 persen kursi di DPR, atau total suara nasional sebanyak 25 persen.
Kelompok oposisi kesulitan untuk membentuk poros ketiga. Jumlah kursi tidak mencukupi karena sebagian besar parpol sudah diakuisisi oleh pemerintah.
Pembentukan Publik Opini
Penggunaan lembaga survei untuk memetakan opini publik, sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam demokrasi modern. Hanya saja yang menjadi masalah di Indonesia praktiknya mengalami penyimpangan.
Peran yang paling menonjol dari lembaga survei justru menjadi tim sukses. Tugas utamanya mempengaruhi opini publik.