Buruk Laku, Lembaga Survei Harus Dibedah
Dengan memiliki “koleksi” puluhan lembaga survei, istana sejauh ini berhasil membangun dan mendesakkan opini publik tentang citra pribadi dan keberhasilan pembangunan pemerintahan Jokowi. Dominasi publik opini kian perkasa karena istana juga menguasai dan mengkooptasi sepenuhnya media massa arus utama.
Setidaknya ada enam tugas lembaga survei di Indonesia :
Pertama, membentuk opini pemerintahan Jokowi sangat berhasil dan disukai publik. Salah satu indikatornya adalah kepuasan publik atas kinerja pemerintah. Di AS, hal ini disebut sebagai approval rating.
Kedua, membombardir publik dengan berbagai hasil survei yang menunjukkan tingkat elektabilitas Jokowi sangat tinggi. Tujuannya untuk mempengaruhi keputusan pimpinan parpol dan membuat solid dukungan terhadap Jokowi.
Pada pilpres kali ini para pimpinan parpol berebut menjadi partai yang paling awal mendukung Jokowi. Mereka silau karena elektabilitasnya sangat tinggi. Sementara pada Pilpres 2014 mereka berhasil memaksa Ketua Umum PDIP Megawati memberikan mandatnya kepada Jokowi.
Ketiga, membangun tingkat kepercayaan diri (level of confidence) Jokowi dan para pendukungnya bahwa elektabilitasnya sangat tinggi dan tidak mungkin dikalahkan.
Keempat, mempengaruhi psikologi lawan politik dan para pendukungnya bahwa mereka tidak mungkin memenangkan persaingan melawan Jokowi.
Kelima, mempengaruhi pemilih yang belum memutuskan (undecided voters). Dalam teori pemasaran politik dikenal bandwagon effect. Publik cenderung akan ikut pemilih terbanyak. Efek ikut-ikutan.
Keenam, memberi justifikasi kecurangan. Karena angka-angka elektabilitas telah disesuaikan dengan target kemenangan yang sudah dipatok.
Lembaga-lembaga survei itu dengan leluasa membentuk opini publik karena berlindung di balik sikap independen dan justifikasi ilmiah.