Cancel Culture versus Tabayyun: Tantangan Muslim dalam Bersosial Media
Di era digital seperti sekarang, di mana media sosial menjadi sebuah panggung utama bagi banyak orang untuk berinteraksi, termasuk Muslim dari berbagai generasi. Namun, muncul fenomena cancel culture, yaitu fenomena di mana seseorang atau kelompok “dibatalkan” akibat dari kesalahan atau tindakan yang dianggap tidak pantas oleh masyarakat online.
Sayangnya, tren ini sering kali bertolak belakang dengan prinsip Islam tentang tabyyun, yaitu memastikan kebenaran sebelum mengambil tindakan. Jadi, bagaimana sikap seorang Muslim dalam menghadapi situasi di dunia maya yang serba cepat dan sering kali emosional?
Apa itu Cancel Culture?
Cancel Culture adalah sebuah istilah yang menggambarkan tindakan kolektif dengan memboikot/membatalkan seseorang maupun sebuah kelompok karena tindakan mereka dinilai tidak pantas.
Dalam konteks media sosial, fenomena ini sering kali terjadi secara spontan tanpa adanya proses verfikasi yang lebih dalam.
Tujuannya bisa saja baik, seperti menegur kesalahan atau menuntut keadilan, tetapi jika informasi yang didapatkan tidak ditinjau lebih dalam fenomena ini bisa berdampak buruk, seperti berujung pada fitnah, bahkan bisa terjadi perundungan massal (cyberbullying).
Di sisi lain, Islam mengajarkan tabayyun, yaitu sikap hati-hati dalam menerima informasi. QS. Al-Hujurat ayat 6 mengajarkan kita untuk memastikan kebenaran suatu informasi sebelum mengambil tindakan, terutama jika informasi tersebut datang dari sumber yang tidak terpercaya. Prinsip ini tidak hanya relevan di zaman Rasullah, tai juga sangat penting di era digital, di mana informasi sering kali tidak lengkap atau diputarbalikkan.
Dampak Cancel Culture bagi Muslim
Sebagai seorang Muslim, terjebak dalam Cancel Culture tanpa landasan bisa berakibat sangat fatal, seperti akan menjadi peneyebar fitnah karena tanpa tabayyun, informasi palsu yang kita sebarkan bisa menjadi dosa yang terus mengalir. Kemudian, bisa memutus ukhuwah karena penghakiman yang berlebihan dapat memecah belah hubungan persaudaraan. Terakhir, hilangnya akhlak mulia. Media sosial seharusnya menjadi media dakwah, bukan ruang untuk saling menghujat.
Lalu, bagaimana cara kita sebagai seorang muslim bisa menerapkan tabayyun di media sosial?
Pertama, kita harus cek faktanya sebelum berkomentar. Jangan terburu-buru membagikan informasi yang belum jelas sumbernya. Kemudian kontrol emosi kita. Ingatkan diri untuk tetap tenang dan bijak sebelum bertindak. Selanjutnya, coba kita usahakan untuk fokus pada perbaikan, bukan penghakiman. Ajaklah untuk intropeksi dan memperbaiki kesalahannya daripada menghukum seseorang.
Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk menebar kasih sayang dan memperluas kebajikan. Cancel Culture dapat diubah menjadi budaya yang lebih selaras dengan Islam, yaitu Culture Of Mercy.
Dengan menerapkan nilai rahmah (kasih sayang), kita dapat mendukung orang lain untuk belajar dari kesalahan tanpa harus menghakimi mereka secara berlebihan.
Cancel Culture mungkin menjadi tren yang kuat di era digital, tapi sebagai Muslim, kita memiliki pedoman yang lebih bijaksana, yaitu tabayyun. Dengan menerapkan prinsip ini, kita tidak hanya menjaga diri dari dosa, tetapi juga menjadi bijak dalam menggunakan media sosial.
Mari kita jadikan interaksi di media sosial sebagai ladang kita untuk mencari lebih banyak pahala, bukan tempat menciptakan fitnah.[]
Syifa Ardila, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.