“Capita Selecta”, Buku Bermutu yang Perlu Dibaca
Buku karya kiai muda Bana Fatahillah ini perlu untuk dikaji. Isinya bermutu dan penting untuk disimak. Meski berupa kumpulan tulisan (kapita selekta), tapi pembahasan-pembahasannya cukup mendalam.
Alumni Al Azhar Kairo ini memulainya dengan cara belajar yang ideal. Agar berhasil dalam mencari ilmu, Bana memberikan lima tips. Pertama, niatkanlah belajar hanya mencari ridha Allah bukan yang lainnya. Dalam kitabnya “Bidayatul Hidayah”, Imam Ghazali secara tegas mengecam orang-orang yang tujuan belajarnya untuk dunia semata, seperti mencari harta, jabatan atau agar dikatakan keren. Mereka semua, kata sang Imam, adalah orang yang berusaha menghancurkan agamanya dan menjual agamanya dengan dunia.
Belajar itu harus ikhlas karena Allah SWT. Ikhlas sebagaimana yang dijelaskan Imam Al Qusyairi memiliki tanda di antaranya: pekerjaan yang dilakukan tetap sebagaimana adanya, baik dipuji ataupun dihina, baik orang melihat maupun tidak.
Kedua, persiapan sebelum hadir dalam majlis/kelas. Ini poin yang penting. Teknisnya, satu atau dua hari sebelum duduk dalam sebuah majlis, setidaknya kalian sudah membaca materi atau pembahasan yang akan dibahas pada hari itu. Persiapan ini penting, karena ia seperti pemetaan singkat dalam pikiran kita sebelum hadir di majlis. Ibarat seorang anak remaja yang ingin mengawal ayahnya ke Bandung dari Jakarta, ia sudah “test drive” lewat jalur yang ia coba. Saat waktunya tiba, sang ayah sesekali akan mengiyakan rute yang dilewati si anak, walaupun di tengah perjalanan sang ayah akan memberikan jalan yang lebih dekat dan tidak macet.
Ketiga, mengulangi apa yang didapatkan dalam majlis. Ada pepatah Arab berbunyi ‘kullama takarrar taqarrar’ (setiap apa yang diulangi akan menetap). Dikisahkan bahwa Syekh Ramadhan al Buthi, ulama terkenal asal Syiria, tidak pernah menghafal Al-Qur’an. Namun karena ia membacanya setiap hari secara berulang-ulang, akhirnya membekas bacaannya itu seperti hafalan.
Ada kisah menarik terkait hal ini. Imam Ilkiya al Hirosi yang bernama Ali bin Muhammad, murid agung al Juwaini, pernah bercerita bahwa semasa menuntut ilmu di madrasah Sarhank di Naisabur ada sebuah parit yang mempunyai 70 anak tangga menuju ke bawah. ”Setiap aku (Imam Ilkiya) selesai belajar, maka aku akan mengulang-ulang pelajaran tersebut satu kali di setiap anak tangga yang aku pijak. Aku pun terus melakukannya sampai turun ke bawah, dan mengulanginya lagi dari bawah ke atas. Dan ini bukan hanya sekali saja, tapi dalam setiap pelajaran dan setiap saat.”
Dr Abu Ashi sering mengatakan, ”Satu kitab yang kamu pahami, ulangi, hafali itu lebih baik daripada kamu membaca berpuluh-puluh kitab tanpa pemahaman.” Salah satu ulama salaf pernah mengatakan ‘khaf min shohibil kitab al waahid’ (takutlah kalian dengan oang yang fokus akan satu kitab).
Keempat, berdiskusi dengan teman. Poin ini menurut Syekh Abu Ashi sangatlah penting. Bahkan saking urgennya ia berkata, ”Kalaupun tidak ada satu orangpun yang kalian ajak diskusi, maka berdiskusilah dengan tembok di hadapan kalian.” Sebab dengan berdiskusi, kalian mampu menyamapaikan hal-hal yang telah kalian pahami dengan baik. Dan dalam diskusi kita juga akan mendengar pemahaman lain dari teman kita yang mungkin belum kita dengar atau baca dari buku.
Kelima, adalah doa. Semua bentuk pemahaman dan kekuatan hafalan adalah anugerah yang diberikan Allah semata. Membuat kita paham dan hafal adalah hak prerogative Allah SWT. Tugas manusia hanyalah berusaha, hasilnya kita serahkan pada Allah.
Intelektual muda ini juga membahas tentang Islamisasi bahasa. Ia mengritik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang tidak memberi makna adil, hikmah, iman, kafir dan sejumlah kosa kata Al-Qur’an lain secara tepat.