Catatan (Alm) KH. Solahuddin Wahid: ‘Setelah Bebas, KH. Yusuf Hasyim Justru Tidak Meneruskan Karir Militer’

Pada 1967, saat terjadi refresing DPRGR, Pak Ud bersedia masuk, dengan alasan karena menggantikan anggota dari PKI yang diberhentikan karena itu menambah jumlah anggota DPRGR dari NU. Lagipula situasi politik juga sudah sama sekali berubah.
Hadapi PKI
Pak Ud, adalah salah pendiri Banser, dan menjadi komandan Banser yang pertama. Banser khusus didirikan untuk menghdapi provokasi PKI dan sejumlah organisasi pendukungnya. Menghadapi perkembangan perjuangan saat itu, dirasa perlu membentuk gerakan pemuda yang demi Militer. Memang Pak Ud, adalah pemimpin di lapangan menghadapi PKI di Jawa Timur. Sedang pemimpin di panggung adalah Pak Subchan ZE, salah seorang Ketua PBNU. Perkembangan selanjutnya Pak Ud menjabat Sekretaris Jenderal PBNU dan salah seorang Rais Syuriah PBNU.
Perlawanan kepada Komunis dilakukan Pak Ud hingga akhir hayat bersama sejumlah kawan di Jakarta (Bang Taufiq Ismail, Firoz Fauzan, Pak Moerwanto, Sumarno Dipodisastro, Fadli Zon dan Alfian Tanjung) dan di Jawa Timur (Arukat Djaswadi, Ibrahim, Prof Aminuddin Kasdi).
Pak Ud dan kawan-kawan adalah pihak yang berhasil meminta Pemerintah untuk membatalkan kurikulum 2004 tentang sejarah yang telah menghapuskan Pemberontakan G30S/Dewan Revolusi/PKI dari materi kurikulum sebelumnya. Mereka juga yang berhasil membatalkan UU KKR melalui “judicial review” ke Mahkamah Konstitusi.
Perlawanan tiada henti terhadap PKI itu bukanlah tanpa sebab. Pada tanggal 17 September 1948, Pak Ud meninggalkan Pesantren Sabilil Muttaqien di Takeran, Magetan—setelah beberapa hari mukim di sana. Ternyata sejumlah 14 tokoh Pesantren itu, pada 18 September keesokan hari, dengan tipu daya telah diculik PKI, dibunuh dan tidak satupun kembali.
Pak Ud juga tergabung dalam kesatuan yang berhasil membebaskan beberap tokoh yang ditahan oleh FDR/PKI di Penjara Ponorogo antara lain Kapten Hambali, Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi, dua pimpinan Pesantren Gontor bersama 70-an orang santri Pondok Pesantren Gontor. Kapten Hambali, pada perkembangan berikutnya menjadi kakak ipar dari Pak Ud dan ayah mertua dari Prof. Hermawan Sulistyo.
Perjalana pengalaman hampir 60 tahun silam itu, sangat membekas dalam sanubari Pak Ud, sehingga membuat beliau sangat waspada dan curiga terhadap suatu gerakan yang dinilainya berbau atau ada kaitan dengan PKI yang kemudian disebutnya sebagai Komunid Gaya Baru (KGB). Konsistensi Pak Ud dalam menghadapi PKI itu tidak mudah dipahami oleh banyak orang. Banyak yang menganggap sikap Pak Ud berlebihan. Tetapi bagi kawan-kawan yang sepaham, menyebut Pak Ud adalah pemimpin yang diikuti mereka. Kawan-kawan itulah yang merasakan paling merasa kehilangan atas wafatnya Pak Ud.
Bertemu M. Yusuf
Partai NU sempat bergandengan tangan dengan Orde Baru. Tetapi sejak Pemilu 1971 menjadi titik pisah NU dengan Orde Baru. Dalam masa kampanye Pemilu 1971, aparat keamanan menekan dan mengintimidasi aktivis NU. Setelah NU melebur ke dalam PPP, Pemerintah memasang tokoh-tokoh yang dapat dikendalikan untuk menghadapi NU di dalam PPP. Kekhawatiran Pemerintah terhadap NU, berdasar pada pertimbangan politik dan ideologi. Pemerintah khawatir NU akan membangkitkan kembali ideologi Islam.
Di DPR, Pak Ud juga mulai kritis terhadap Pemerintah. Beliau termasuk tokoh NU yang vokal memprotes perlakuan diskriminatif pimpinan PPP terhadap tokoh-tokoh NU. Akibatnya posisi Pak Ud di dalam PPP menjadi terpinggirkan. Perlakuan diskriminatif itu memicu NU mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik.
Pak Ud adalah politisi tulen. Dalam memandang masalah cenderung mempergunakan perspektif politik. Beliau selalu mengikuti perkembangan politik nasional. Hubungan dengan tokoh-tokoh politik sangat baik.
Pak Ud adalah politisi yang berani. Seperti pada 14 April 1981, saat Rapat Dengar Pendapat DPR dengan Panglima ABRI Jendral Muhammad Yusuf.
Saat itu Jenderal Muhammad Yusuf didampingi Mayjen Benny Moerdani. Panglima ABRI beberkan kronologi pembajakan pesawat Garuda selama 65 Jam di Bandara Bangkok, yang akhirnya dapat dilumpuhkan oleh Detasemen 81, Satuan Tugas Anti Teror Komando Pasukan Sandhi Yudha (kini Kopassus).