Cerita tentang TKI yang Pernah Dijual di Malaysia
Bekerja di kebun sayur beberapa bulan lamanya hanya diberi makan ala kadarnya dan tempat tidur bangsal atau rumah kongsi seadanya. Soal gaji jangan pikirkan karena kami telah dijual katanya.
Karena tidak tahan, saya berhasil melarikan diri dan bertemu dengan orang kampung lalu membawa kami bekerja di sebuah Propinsi di Malaysia.
Disanalah kehidupan saya mulai agak baik dengan tempat tinggal dan makan yang sudah agak layak.
Bekerja sebagai kuli bangunan buruh kasar melakukan apa saja yang dirusuh oleh toke demi uang ringgit yang akan dikirimkan ke kampung halaman.
Itupun biasanya jika gajian akan ada orang Malaysia yang mengutip uang keselamatan dari kami. Mereka bekerja memberi informasi jika ada razia di tempat kami.
Dalam bekerja hati tidak tenang jika ada desas desus polisi dan imigresen Malaysia akan datang menangkap.
Biasanya jika ada kabar akan berlaku razia pada suatu malam, kami tidak tidur di rumah tetapi bersembunyi dalam rawa-rawa yang hanya mengeluarkan kepala saja untuk bernafas.
Itulah gambaran ringkas penderitaan sebuah bangsa yang berasal dari tanah syurga yang mana kayu dan batu jadi tanaman. Ada 1001 cerita lainnya yang bisa menjadi buku yang berjilid-jilid panjangnya jika ditulis semua.
Banyak kali penulis membawa orang Malaysia datang ke Indonesia, komentar mereka hampir sama saja.
“mengapa bumi yang subur dan makmur ini, rakyatnya masih antri mau bekerja di Malaysia dengan 1001 resiko dan penderitaan?”
Jawab saya hanya sederhana, korupsi, salah urus dan kekayaan negara yang dimonopoli dinikmati oleh segelintir mafia kleptokrasi.
Solusinya, menurut penulis, ciptakan lapangan pekerjaan di tanah air sendiri dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Presiden yang cerdas, amanah, memiliki konsep, idea, gagasan, komitmen dan ilmu. Dan capres yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini tahun depan adalah Anies Rasyid Baswedan PhD menurut saya.[]
Afriadi Sanusi, PhD adalah Dr bidang politik Islam Universiti Malaya Kuala Lumpur Malaysia.