China dan Tiananmen, Dua Wajah dalam Kunjungan Santri
Pemerintah Indonesia telah mengirimkan sepuluh santri terpilih ke China, pada 25 November 2019. Rencananya mereka berada di China selama lima hari. Kepergian santri ke China ini dalam rangka program “Santri untuk Perdamaian Dunia.”
Dalam kunjungan santri Indonesia ke China ini setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dicernati, sebagai berikut ini.
Pertama, tawaran program beasiswa untuk santri bisa belajar sains dan teknologi di China. Tentunya hal demikian menjadi peluang untuk kemajuan teknologi Indonesia.
China itu mempunyai keunikan termasuk warisan budaya tertua di dunia. Tembok raksasa China menjadi saksi sejarah kemajuan teknologi bangsa China. Tentunya tidak mengherankan jika ada satu hikmah yang sudah familiar di kalangan muslim yang menyatakan agar menuntut ilmu walau sampai ke negeri China. Tentunya ini menjadi inspirasi tersendiri untuk belajar ke negeri China.
Sesungguhnya sains dan teknologi merupakan hal yang universal. Mempelajarinya juga adalah hal yang lumrah, bahkan menjadi hal yang urgen bila dengan sains dan teknologi bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa.
Dengan memiliki kemajuan sains dan teknologi, akan menjadi sarana yang efektif di dalam menjaga dan merawat perdamaian dunia. Kemajuan sains dan teknologi ibaratnya dua sisi mata pisau. Bila kemajuan saintek berada di tangan bangsa yang rakus, tentunya akan membahayakan bagi perdamaian dunia. Sebaliknya, di saat kemajuan saintek berada di tangan bangsa yang adil, tentunya perdamaian dunia akan mudah untuk diwujudkan. Dalam hal ini, bangsa Indonesia yang mayoritasnya muslim memegang peranan penting.
Kaum muslimin mempunyai tanggung jawab penuh menjaga perdamaian dunia. Sebagai umat wasathan, kaum muslim itu adalah umat yang adil dan mampu memberikan perbaikan bagi dunia. Terhadap mereka yang memang dholim dan memicu kedholiman terhadap bangsa lain, sangsi harus diberikan sebagai bentuk penjagaan perdamaian dunia. Jangan sampai terjadi ketidakadilan di dunia, yang hal itu justru hanya menjadi bahan bakar bagi ketidakstabilan dunia.
Kedua, berkaitan dengan kunjungan santri ke Tiananmen Square.
Selama di China, santri Indonesia juga diajak untuk mengunjungi lapangan Tiananmen. Kunjungan ke Tiananmen sesungguhnya mdnjadi menarik. Dalam hal ini, sebenarnya santri Indonesia telah dihadapkan kepada sosok Negara China itu sendiri. Yakni wajah ramah dan wajah bengis.
Saat menyambut santri Indonesia dengan hangatnya, tentunya ini wajah ramah dari China. Sedangkan Tiananmen square menjadi wajah bengisnya China.
Wajah ramah yang demokratis dijadikan guidence dalam politik luar negeri China. Salah satunya berbagai tawaran investasi bagi negara lain khususnya di jalur sutra OBOR, sebuah mega proyek raksasa ekonomi China di kawasan. Walaupun tentunya itu dilakukan tetap kembali kepada kepentingan politik China sendiri.
Sedangkan di dalam mengelola politik dalam negerinya, China memasang wajah bengisnya. Adalah lapangan Tiananmen contoh terbaik dalam hal ini.
Pada 1989, terjadi tragedi pembantaian para demonstran oleh pemerintah China. Ketidakstabilan ekonomi yang memicu terjadinya demonstrasi besar – besaran di China, hingga mulai muncul kecenderungan pro demokrasi. Oleh pemerintah China disikapi dengan mengambil tindakan represif. Lapangan Tiananmen akhirnya bersimbah darah.
Oleh karena platform China sebagai one state two system. China itu eksistensinya sebagai satu negara dengan menjalankan dua sistem kenegaraan, yakni demokrasi keluar dan kebijakan ala komunisme dalam pengaturan politik dalam negerinya.
Santri sebagai kalangan terpelajar harusnya dapat bersikap proporsional dalam menyikapi kunjungannya ke China. Pada tataran tertentu, santri bisa menyerap hal yang positif seperti terkait kemajuan sainteknya.
Sementara itu, sebagai duta perdamaian dunia, tentunya santri menjadi garda terdepan atas setiap kedholiman yang terjadi di dunia. Kebijakan dholim China atas muslim Uighur yang dikecam oleh dunia, menjadi peluang bagi santri untuk mengambil posisi guna menyampaikan kecaman atas diskriminasi China terhadap Uighur. Hubungan saudara seiman menjadikan santri untuk berperan di sini, di samping adanya amanat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pernyataan di dalam pembukaan UUD 1945 tersebut adalah ungkapan jujur bangsa Indonesia akan kejamnya penjajahan. Di samping itu, kalau menilik pada sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah, tentunya upaya penggembosan oleh orang – orang yang membelot ke penjajah waktu itu, selanjutnya tertulis abadi dalam lembaran sejarah Indonesia sebagai pengkhianat bangsa. Penyematan sedemikian akan menjadi sangat menyakitkan sepanjang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ainul Mizan
Penulis tinggal di Malang