Cinta Abal-Abal Ala Bu-Suk
Ibu satu ini rupanya tak kapok berulah. Tak bisa menjaga lisan dengan benar. Ucapannya menimbulkan kegaduhan baru di tengah berbagai polemik yang mendera negeri ini. Ia dilaporkan atas dugaan penistaan agama.
Hal itu bermula saat ia menghadiri sebuah diskusi bertajuk ‘Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme’ pada Senin (11/11).
Seperti dilansir detik.com, 16/11/2019, dalam diskusi itu, awalnya Sukmawati berbicara tentang perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan RI dari jajahan Belanda. Kegiatan itu sendiri dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 2019. Sukmawati kemudian melontarkan pertanyaan kepada forum. “Sekarang saya mau tanya semua, yang berjuang di abad 20 itu Yang Mulia Nabi Muhammad apa Ir Sukarno, untuk kemerdekaan? Saya minta jawaban, silakan siapa yang mau jawab berdiri, jawab pertanyaan Ibu ini,” tanya Sukmawati.
Tak hanya itu, ia pun melontarkan sejumlah pertanyaan yang cukup sensitif. Berikut petikannya, “Memangnya kita nggak boleh menghargai, menghormati, orang-orang mulia di awal-awal, pokoknya abad modern? Apakah suri teladan itu hanya Nabi? Ya, oke, nabi-nabi, tapi pelajari perjalanan sejarah, ada revolusi industri. Apakah kita tidak boleh menghargai seperti Thomas Jefferson, Thomas Alva Edison, orang-orang mulia untuk kesejahteraan manusia,” kata Sukmawati, seperti dilansir detik.com, sabtu (16/11).
Pidato itu menghebohkan publik, terutama umat Islam. Bahkan tagar #TangkapSukmawati bertengger di puncak trending topic twitter. Seolah membuka luka lama yang ia torehkan beberapa waktu lalu. Tak cukup dengan membandingkan cadar-konde serta azan-kidung Ibu Indonesia dalam puisinya. Kali ini ia kembali membandingkan Nabi Muhammad saw dengan Ir Sukarno. Tak bisakah memberi ketenangan untuk kami? Mengapa pula harus menyinggung dan mengusik kami lagi?
Menanggapi laporan atas dirinya, Sukmawati berseloroh bahwa ia tak ada maksud membandingkan Nabi dengan Sukarno. Ia sesumbar cinta para Nabi, kenapa dianggap menista agama? Benarkah? Mencintai Nabi itu tidak menbandingkannya dengan orang lain. Membandingkan Nabi dengan Sukarno itu salah tempat dan posisi. Begitu berani Bu Sukma membandingkan Baginda Nabi dengan bapaknya. Mencintai Nabi itu tidaklah nyinyir kepada Nabi, ajarannya, dan umatnya. Lantas, cinta Nabi seperti apa yang diterapkan Bu Sukma? Mungkin cintanya abal-abal. Ucapan dan tindakan tak sesuai.
Bu Sukma harusnya banyak belajar dari Bapaknya. Sukarno sendiri mengagumi sosok Nabi Muhammad saw. Dalam satu kesempatan beliau pernah berkata, “Kita sebagai umat Islam harus, harus menganggap Muhammad itu sebagai pemimpin besar yang terbesar. Bahkan harus kita mengatakan, tidak ada pemimpin yang lebih besar dari pada Muhammad shalallahu alahi wassalam,” Dalam rangka menyambut Maulid Nabi, Sukarno pernah memerintahkan Kedutaan Besar di Kairo untuk memutarkan film Salahuddin Al Ayyubi agar rombongan yang dibawanya saat itu mengambil teladan atas perjuangan umat Islam dan perjuangan Nabi saw.
Sungguh sikap yang bertolak belakang dengan anaknya. Andaikata Sukarno masih hidup, mungkin beliau pun tidak akan terima dengan ucapan anaknya yang terus nyinyir terhadap Islam. Narasi radikalisme telah membutakannya. Tak mampu menempatkan diri dan menjaga lisannya dengan baik. Angkuh dan tak merasa bersalah. Sangat disayangkan, putri seorang proklamator tak bersikap santun dalam beragama.
Bila mau jujur, justru Rasulullah saw turut berjasa besar bagi kemerdekaan bangsa ini. Andaikata semnagat jihad mengusir penjajah tak ada, mungkin Indonesia masih terjajah. Semangat jihad itu datang dari seruan Islam. Para ulama dan santri yang berjuang melawan penjajah terdorong karena gelora perjuangan yang diajarkan Nabi saw.
Jika Bu-Suk memang begitu bangga dengan bapaknya, tak usahlah membandingkannya dengan Nabi saw. Apalagi membandingkan Alquran dengan Pancasila. Tidak apple to apple. Beda kelas dan level. Mau berbangga dengan siapapun silakan saja. Namun, jangan pernah membandingkan Nabi kami dengan siapapun. Karena meneladaninya adalah kewajiban agama kami. Mencintainya adalah harga mati bagi kami. Bu Sukma harus banyak belajar mengontrol diri. Belajarlah menghormati apa yang diyakini umat mayoritas di negeri ini. Lebih baik diam daripada berbicara tapi tak mengerti adab.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban