Cobaan Imam Bukhari
Para penguasa dan ulama seluruhnya menyambut Imam Bukhari, pada jarak dua atau tiga marhalah sebelum ia menginjakkan kaki di kota itu. Mereka memuliakannya secara luar biasa, dengan bentuk yang belum pernah diberikan kepada seseorang sebelumnya dan bahkan setelahnya.
Dari sambutan yang semarak, serta penghormatan dan apresiasi luhur yang didapatkan Imam Bukhari di Naisabur itu, ia memutuskan untuk tinggal di sana dalam waktu yang lama dan akhirnya mendirikan sebuah tempat tinggal di sana. Segenap ulama Naisabur mendorong para pencari ilmu untuk menyimak kajian yang disampaikan Imam Bukhari.
Sesepuh para ulama Naisabur pada waktu itu adalah Imam Muhammad bin Yahya adz Dzahali yang menjadi tetua di sana dan memiliki banyak pengikut serta disegani. Bukan hanya di tingkat Naisabur saja, bahkan di seluruh Khurasan. Ketaatan orang-orang kepadanya lebih besar disbanding ketaatan mereka kepada khalifah atau gubernur.
Imam adz Dzahali termasuk salah seorang yang menganjurkan orng-orang agar mengikuti pengajian Imam Bukhari, menghadiri majelisnya dan mendengarkan pengajaran-pengajarannya. Bahkan ia sendiri termasuk orang yang banyak mengambil manfaat dari Imam Bukhari. Sampai-sampai ia senantiasa berjalan di belakang Imam Bukhari ketika mengantarkan jenazah. Ia bertanya kepada Imam Bukhari mengenai nama-nama, kuniyah (julukan), dan illat (cacat/cela) perawi hadits. Di kota itu popularitas Imam Bukhari melesat cepat bak anak panah.
Dengan menetapnya Imam Bukhari di Naisabur, sedikit demi sedikit majelis hadits di kota itu kehilangan murid-murid. Mereka ramai-ramai pindah ke Majelis Imam Bukhari. Sampai kemudian muncullah kekisruhan di majelis besar milik ulama Naisabur, yaitu Muhammad bin Yahya adz Dzahali, karena sepi pencari ilmu. Saat itulah sifat dengki mulai menjalari hati adz Dzahali. Kecemburuan yang tercela lambat laun merasuk ke dalam jiwanya, hingga akhirnya ia sampai hati melayangkan fitnah terhadap Imam Bukhari. Ia berbicara panjang lebar untuk menjelek-jelekkan Imam Bukhari dan melemparkan kepadanya aneka tuduhan yang tidak berdasar.
Apakah kiranya tuduhan yang menjadi pangkal muncunya cobaan dan malapetaka bagi Imam Bukhari?
Tuduhan itu adalah tentang pelafalan (pembacaan) Al-Qur’an, yaitu ucapan orang: “Pelafalanku terhadap Al-Qur’an adalah makhluk.”
Adz Dzahali mengatakan kepada para pecinta hadits bahwa Imam Bukhari berkata, “Pelafalan Al-Qur’an adalah makhluk.”
Maka kemudian para ulama menguji Imam Bukahri di majelisnya. Tatkala mereka hadir di majelis Imam Bukhari, seseorang menghampirinya, seraya bertanya, ”Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu tentang pelafalan Al-Qur’an, apakah itu makhluk atau bukan?”
Mendengar pertanyaan itu, Imam Bukhari berpaling darinya tanpa menjawabnya. Laki-laki itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Akhirnya Imam Bukhari menoleh padanya dan berkata, ”Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Seluruh perbuatan hamba adalah makhluk. Pengujian (terhadap ulama) adalah bid’ah.”
Imam Bukhari menyadari betul substansi pertanyaan itu. Ia mengetahui bahwa pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, melainkan bertujuan untuk menguji seorang ulama, serta memantik kekacauan dan perpecahan di masyarakat.
Kemudian si penanya membuat keributan di dalam majelis Imam Bukhari. Sang Imam bergegas keluar dari majelisnya dan berdiam di rumahnya.