RESONANSI

Dakwah Bisa Gagal, Bukan karena Isi tapi Diksi

Belakangan ini ruang publik kita lebih sering gaduh bukan karena ide segar, melainkan karena salah ucap para tokoh. Ada pejabat yang terburu-buru berkomentar lalu menyinggung publik, ada pula tokoh agama yang keliru memilih diksi hingga ceramahnya memantik kontroversi. Di era digital, sekali lidah terpeleset, rekaman dapat diputar tanpa henti, menjadi abadi di jagat maya.

Fenomena ini menyadarkan kita bahwa kemampuan berbicara di depan publik bukan sekadar bonus, melainkan kebutuhan mendesak. Inilah urgensi ilmu retorika. Retorika bukan hanya seni merangkai kata, tetapi juga kebijaksanaan dalam menimbang, memilih, dan menyampaikan kalimat pada ruang dan waktu yang tepat.

Lidah Mendahului Pikiran

Dalam kajian psikologi bahasa, dikenal istilah slip of the tongue atau “terpeleset lidah.” Fenomena ini terjadi ketika koordinasi antara pikiran dan ucapan tidak selaras, sehingga kata yang meluncur berbeda dengan maksud sebenarnya.

Bentuknya bisa beragam: salah bunyi, salah susun, atau bahkan membocorkan isi hati yang tersembunyi. Freud berpendapat, kadang salah ucap bukan sekadar kecelakaan linguistik, melainkan refleksi batin yang tidak terkendali.

Contoh nyata bisa dilihat dari kasus Pendeta Gilbert Lumoindong yang pada 2024 harus mendatangi MUI untuk meminta maaf setelah potongan video ceramahnya viral dan dianggap menyinggung zakat serta salat. Ia mengakui ada “salah ucap, salah pengertian, salah diksi.” Potongan kata yang semestinya ringan, berubah menjadi bara yang menyulut sensitivitas antar-umat.

Ada pula kisah seorang santri yang terlalu bersemangat saat memimpin doa. Dengan lantang ia melafalkan,

Allahumma ghfir lil muslimin wal muslimat, wal mu’minin wal mu’minat, ustaz-ustaz kami, jamaah-jamaah kami, semuanya masuk neraka… ehhh… astaghfirullah… maksud saya masuk surga…”

Sekejap suasana hening, lalu pecah tawa jamaah. Niat hatinya tentu tidak demikian, namun diksi yang terlepas dari kendali mengubah suasana khusyuk menjadi gaduh. Niat baik pun buyar karena retorika yang rapuh.

Kedua peristiwa ini memperlihatkan satu hal: isi pesan bisa benar, niat bisa tulus, namun tanpa keterampilan retorika, hasilnya bisa fatal.

Retorika dalam Dakwah

Lebih jauh dari panggung politik, retorika adalah kunci utama dakwah. Seorang dai tidak cukup hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga harus mampu mengemasnya dengan bahasa yang menyentuh hati. Kebenaran yang disampaikan dengan kasar sering kali ditolak, sementara nasihat yang sama, bila dibungkus kelembutan, dapat menggerakkan jiwa.

Al-Qur’an menegaskan hal ini:


ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button