Dana Desa Adalah Perintah UU, Bukan Produk Kebaikan Hati Presiden Jokowi
Dana desa merupakan amanat UU No. 6/2014 tentang Desa. Jadi, siapapun presidennya dana itu akan tetap ada. Secara teori, besaran Dana Desa tentu saja akan terus meningkat seiring meningkatnya besaran APBN. Dua hal ini perlu disampaikan kembali kepada masyarakat, terutama aparat desa, agar mereka tak menjadi korban penyesatan informasi sekaligus korban kampanye terselubung oleh pihak yang sedang memerintah. Dana desa adalah perintah UU, dana dari rakyat kembali ke rakyat, bukan dari petahana.
Bagaimanapun, potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh petahana dalam Pilpres 2019 memang besar. Mereka bisa menggunakan berbagai instrumen kebijakan untuk menguntungkan dirinya. Sayangnya, sebagian potensi penyalahgunaan itu hanya dipagari oleh batas etika saja, bukan oleh batas hukum. Sehingga, ruang kontrol kitapun menjadi terbatas. Kita mengajak rakyat untuk berpikir kritis, agar mereka tak mudah termanipulasi oleh informasi dan framing menyesatkan.
Saya mencatat, tahun lalu saja sekurang-kurangnya ada dua preseden penyesatan soal dana desa yang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dalam sebuah acara yang dihadiri oleh para kepala desa dari seluruh Indonesia di Jogja Expo Center (JEC), 25 Juli 2018. Dalam acara tersebut Mendagri menyebut dana desa adalah program dari pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Dia bukan hanya menyebut dana desa sebagai inisiatif presiden, bahkan juga menyebutkan dana desa merupakan bantuan dari Presiden Joko Widodo. Pernyataan Mendagri jelas berbau kampanye dan menyesatkan.
Kedua, adalah pernyataan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) pada tanggal 24 Agustus 2018, di mana ia menyatakan kalau dalam Pilpres tahun 2019 Joko Widodo kembali menang, ia memastikan kalau dana desa akan kembali dinaikkan. Seolah, kenaikan dana desa dari sebelumnya Rp60 triliun dalam APBN 2018, menjadi Rp73 triliun dalam APBN 2019, merupakan komitmen pribadi Presiden Joko Widodo. Ini juga menyesatkan publik.
Selain menumpang kampanye pada acara resmi, dua pernyataan menteri tahun lalu itu memang menunjukkan adanya upaya dini untuk menggunakan dana desa sebagai bahan kampanye bagi petahana dalam Pilpres 2019. Padahal, seperti yang telah disebutkan, keberadaan dana desa dalam APBN merupakan amanat UU No. 6/2014 tentang Desa. Pos itu akan selalu ada, karena itu merupakan perintah undang-undang. Jadi, peringatan Saudara Fahri Hamzah, bahwa pencairan dana desa yang dilakukan menjelang Pemilu harus diwaspadai, memang perlu diperhatikan.
Kita harus mengingatkan publik, terutama para pamong desa, bahwa dana desa akan terus ada dalam APBN, siapapun presidennya. Bahkan, publik perlu diingatkan, sebelum Pilpres 2014 dulu, Prabowo secara rasional pernah mengkampanyekan Dana Desa sebesar Rp1 miliar tiap desa. Angka itu dulu dikeluarkan dengan perhitungan yang matang. Sebagai respon atas kampanye Prabowo, Capres Joko Widodo waktu itu kemudian membalasnya dengan mengkampanyekan Dana Desa sebesar Rp1,5 miliar per desa jika dia berkuasa.
Dalam realisasinya, pemerintah Joko Widodo tak pernah bisa memenuhi janjinya. Pada 2015 pemerintah hanya bisa memberikan Dana Desa sebesar rata-rata Rp300-400 juta per desa. Pada tahun 2018, pemerintah juga hanya bisa memberikan Dana Desa rata-rata Rp800 juta per desa. Tahun 2019 ini, dengan anggaran Rp73 triliun, tiap desa rata-rata hanya mendapatkan Rp900 juta. Jadi, di tahun terakhir kekuasaannya, Presiden Joko Widodo tetap gagal merealisasikan besaran dana desa yang pernah dijanjikannya. Ini harus dicatat oleh masyarakat, terutama masyarakat desa.