Darurat Politisi Bervisi Akhirat
Kerapkali ketika disebut kata akhirat maka kesan yang muncul adalah kemurungan, kesedihan atau perasaan tak berdaya, karena persepsi yang tertanam bagi kebanyakan orang adalah mengingat akhirat berarti memisahkan diri dari urusan dunia dan berdiam diri dibalik kenyamanan rumah-rumah ibadah dengan memperbanyak kegiatan ritual.
Persepsi ini pun pernah terjadi pada seorang ulama besar generasi tabiut tabi’in bernama Fudhail bin Iyadh, beliau sempat mengasingkan diri bolak-balik di Masjid Nabi (Madinah) dan Masjidil Haram (Mekkah) dengan hanya berzikir dan menangis di sudut-sudut masjid hingga kulit wajah di bawah kedua matanya terdapat garis hitam bekas cucuran air mata yang terus menerus mengalir karena takutnya akan pembalasan hari akhir.
Kondisi Fudhail bin Iyadh ini serta merta dikritik oleh sahabat Abdullah Ibnul Mubarak yang mengirim surat kepada Fudhail bin Iyadh dengan nasihat tentang keutamaan ibadah Jihad di jalan Allah SWT daripada hanya menangis di masjid dengan keadaan yang wangi dan nyaman walaupun untuk tujuan akhirat.
Nasihat ini pun diterima oleh Fudhail bin Iyadh dengan balasan tulisan hadis Rasulullah tentang keagungan ibadah Jihad untuk menuju akhirat yang mengalahkan jenis ibadah ritual apapun dimana perumpamaan mujahid di jalan Allah bagaikan seorang yang berpuasa terus menerus, shalat malam, berdzikir membaca ayat ayat Allah SWT. (Tafsir Ibnu Katsir: 179).
Nasihat Abdullah ibnul Mubarak kepada Fudhail bin Iyadh ini mengoreksi persepsi sebagian orang tentang mengingat akhirat yang cenderung fatalistik dan eskapisme. Seharusnya bagi seorang Muslim, ingatan akan akhirat akan melejitkan semangat hidup atau semangat jihadnya berkali-kali karena kerinduan akan akhirat yang dipenuhi dengan berbagai macam kenikmatan terutama keridhaaan dari Allah SWT.
Jihad bagi para politisi bervisi akhirat adalah bukan jihad mengangkat senjata atau jihad peperangan fisik, tetapi ladang jihad bagi para politisi bervisi akhirat adalah perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai ilahiah dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur kekuasaan politik.
Menegakkan nilai-nilai ilahiah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur kekuasaan politik tentunya bukan perkara mudah. Tantangan dan ancaman paling bahaya akan menjadi hal yang akan ditemui oleh para pelakunya. Para politisi bervisi akhirat harus menyadari bahwa ketika terjun dalam dunia politik dengan tujuan menegakkan nilai-nilai ilahiah maka hal itu sebanding dengan turunya seorang pejuang di medan petempuran fisik (qital) dengan risiko terbunuh sebagai syuhada atau menang dalam petempuran mengalahkan musuh.
Fakta-fakta membuktikan bahwa pertempuran di medan politik tidak kalah ganas dan kerasnya dibandingkan dengan pertempuran fisik dalam medan peperangan. Pengkhianatan, penjebakan, fitnah, pembunuhan karakter, diracun dan segala macam jenis kejahatan politik akan menjadi menu sehari-hari dalam dunia pertempuran politik. Apalagi pertempuran di dunia politik membuat orang dapat “terbunuh” berkali-kali seperti apa yang disebutkan oleh Winston Churchill: In war, you can only be killed once, but in politics, many times, sehingga pertempuran dalam dunia politik bisa jadi lebih sadis ketimbang pertempuran di medan perang yang hanya kehilangan nyawa sekali saja.
Para Mujahid di medan peperangan akan cenderung lebih banyak berlatih mental dan fisik untuk memenangkan pertempuran fisik tetapi politisi bervisi akhirat akan lebih banyak berlatih keikhlasan dan kesabaran (seperti bersabar untuk hidup sederhana). Karena tanpa keikhlasan dan kesabaran yang cukup, maka setiap politisi akan mudah dibeli oleh berbagai kepentingan yang akan mengendalikan seorang politisi tersebut.
Politisi bervisi akhirat adalah seorang politisi yang tidak dapat dibeli hingga taruhan nyawa sekalipun, karena dia sangat memahami bahwa yang ia sedang perjuangkan adalah nilai-nilai ilahiah dan kepentingan rakyat yang sudah memilihnya. Tanpa adanya keikhlasan dan kesabaran maka seorang politisi akan berhitung dengan jabatan yang sedang diembannya, dia akan selamatkan diri terlebih dahulu demi keberlangsungan hidup setelah tidak menjabat atau untuk terus mempertahankan jabatannya dengan berbagai cara.