Datangi Kemenaker, KOMIK Minta Program SPSK Dikembalikan kepada Negara
Jakarta (SI Online) – Sejumlah massa yang menamakan diri Komite Milenial Anti Korupsi (KOMIK) mendatangi Kantor Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), di Jakarta, Jumat petang (13/3/2020).
Mereka meminta pengelolaan Program Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang saat ini berada di tangan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dikembalikan kepada negara melalui Kemenaker atau BNP2TKI (BP2MI).
Koordinator KOMIK Agus L mengatakan, program SPSK harusnya menjadi jalan untuk memberikan perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI). Namun, SPSK kini terancam hanya menjadi kegiatan bisnis dan mengabaikan aspek perlindungan dan budaya bisnis yang sehat karena dimonopoli oleh satu asosiasi yakni APJATI.
“Program SPSK seharusnya adalah kanal pemerintah, bukan kanal organisasi masyarakat non laba seperti APJATI. Jika pelaksanaan SPSK hanya dimonopoli oleh satu asosiasi maka sudah dipastikan akan melenceng dari tujuan awal,” ungkap Agus.
Oleh karena itu, Agus meminta pemerintah bertindak tegas mengawal penuh proses penempatan satu kanal. Jangan sampai swasta dalam pelaksanaan SPSK memanfaatkan kelengahan aparat karena memiliki hak yang terlalu besar di lapangan.
Agus menjelaskan, dasar dari monopoli yang dilakukan APJATI berawal dari Kepmenaker 291/2019 di mana Menaker sebelumnya M. Hanif Dakhiri secara tersirat memberi kekuasaan yang sangat besar kepada APJATI. Kepmen dimaksud pernah diajukan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) bahkan ada sekelompok masyarakat yang melaporkan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena rawan terjadi korupsi.
Karena itulah KOMIK meminta Menaker yang baru untuk melakukan evaluasi menyeluruh rencana pelaksanaan penempatan TKI satu kanal atau Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) sesuai dengan aturan yang berlaku dan menghindarkan terjadinya monopoli.
Selain itu KOMIK juga mendesak Kedubes RI di Riyadh, Kemenaker RI dan BNP2TKI (BP2MI) untuk menindak tegas oknum pejabat yang menyalahgunakan program SPSK untuk keuntungan pribadi.
“Pemerintah harus mengambil alih pelaksanaan SPSK menjadi program G to G dan tidak memberikan kekuasaan terlalu besar kepada swasta karena bertentangan dengan asas perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia,” pungkas Agus.
Red: farah abdillah