Deislamisasi atau Deradikalisasi PNS?
Pegawai Negeri Sipil kini tak bebas lagi menjalankan keyakinannya. Mereka yang ‘berpegang teguh pada Islam’, terancam dinonjobkan atau dipecat. Semua dengan tuduhan radikal.
Lembaga Survei Indonesia merilis hasil survei mengenai sikap toleransi pegawai negeri sipil (PNS) di Tanah Air terhadap nonmuslim. Hasilnya, mayoritas responden PNS beragama Islam tak keberatan non muslim menjadi gubernur.
Survei LSI kali ini bertajuk ‘Tantangan Reformasi Birokrasi: Persepsi Korupsi, Demokrasi dan Intoleransi di Kalangan PNS’. Survei itu dilakukan pada 3 Januari-31 Maret 2021.
Populasi survei adalah seluruh PNS di lembaga-lembaga negara dengan jumlah PNS yang besar, serta beberapa lembaga negara lainnya sesuai pertimbangan studi di tingkat pusat dan tingkat provinsi yang tersebar di 14 provinsi. Sebanyak 1.000 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut.
Menurut detik.com, jumlah populasi PNS pada kementerian/lembaga negara di tingkat pusat dan daerah yang terpilih dalam penelitian ini sebanyak 915.504 orang atau sekitar 22% dari total jumlah PNS di Indonesia. Responden diwawancarai secara tatap muka, baik daring maupun luring oleh pewawancara yang dilatih. Total sampel akhir yang dianalisis sebanyak 1.201 responden.
Menurut Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, ketika pihaknya mengajukan pertanyaan, apakah ibu/bapak keberatan atau tidak keberatan jika orang non muslim menjadi gubernur? Hasilnya, sebanyak 69,3% responden beragama Islam menjawab tidak keberatan.
“Kita menanyakan beberapa ukuran saja di sini, pertama apakah PNS keberatan kalau nonmuslim jadi gubernur? Yang keberatan 22%, mayoritas mutlak tidak keberatan,” sebut Djayadi.
Selain itu, hasil survei LSI menyatakan 92,5% PNS tidak setuju dengan pendapat PNS mendahulukan warga yang seagama dengannya selama melayani publik.
Ketika ditanyakan bagaimana jika orang nonmuslim membangun tempat peribadatan di sekitar sini (di sekitar tempat tinggal), yang menjawab keberatan: 19,9%. Tidak keberatan: 64,9% dan tergantung: 14,3%.
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dipecat atau dinonjobkan karena beberapa hal, seperti terpapar paham radikalisme dan terorisme serta korupsi. “Baik pemahaman masalah-masalah korupsi, baik yang berkaitan dengan demokrasi, maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan intoleransi. Walaupun saya masih cukup sedih hampir tiap bulan saya memutuskan dalam sidang badan kepegawaian masih ada saja harus saya putuskan PNS yang harus nonjobkan atau saya berhentikan karena dia punya paham radikalisme dan terorisme,” kata Tjahjo melalui keterangan resminya secara daring, Ahad, (18/4/2021).
Tjahjo juga menyatakan bahwa ia banyak kehilangan orang-orang pintar yang seharusnya bisa duduk di eselon 1, eselon 2, yang seharusnya bisa jadi Kepala Badan atau lembaga, tapi dalam TPA (Tes Potensi Akademik), terpapar dalam masalah radikalisme terorisme, maka tanpa ampun.