Deislamisasi atau Deradikalisasi PNS?
Dalam masalah Perda Syariah, 45,1% menyatakan tidak tepat membahayakan keutuhan NKRI. 27,6% menyatakan tepat untuk mengakomodir penganut agama mayoritas, yang tidak menjawab 20,8% dan lainnya ragu-ragu.
Dalam masalah negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah, 22,7% menyatakan sangat tidak setuju sekali. 26,7% menyatakan sangat tidak setuju, 21,0% menyatakan tidak setuju, 15,3% menyatakan setuju, 13,1% menyatakan sangat setuju dan 1,2% menyatakan sangat setuju sekali.
Mayoritas professional juga menyatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi yang tepat untuk negara Indonesia (84,5%). Sedangkan yang memilih ideologi Islam sebesar 15,5%.
Dari hasil penelitian ini, Alvara Research Center kemudian menyimpulkan bahwa:
- Penetrasi ajaran intoleransi mulai masuk ke dalam kalangan terdidik dan kelompok kelas menengah
- Aparatur negara dan kelompok kerja di BUMN juga mulai terpapar ajaran-ajaran intoleransi
- Penetrasi ajaran-ajaran intoleransi yang anti Pancasila dan NKRI di kalangan professional masuk melalui kajian-kajian keagamaan yang dilakukan di tempat kerja.
***
Penelitian-penelitian semacam ini sebenarnya adalah upaya pembodohan. Di samping juga upaya untuk memasukkan ideologi aliran tertentu dalam Islam di kalangan professional (khususnya pegawai negeri sipil). Dengan penelitian seperti ini, maka kini banyak diambil kebijakan memecat atau menonjobkan pegawai yang dianggap intoleransi, memberhentikan pengajian di kantor-kantor pemerintah, mengganti penceramah kritis dengan penceramah yang pro pemerintah dan seterusnya.
Memang hanya di masa pemerintahan Jokowi, ancaman intoleransi dan radikalisme ini terus digaungkan. Di masa pemerintahan sebelumnya hal ini tidak terjadi. Sayangnya ancaman itu hanya ditujukan kepada umat Islam. Umat non Islam misalnya, tidak pernah dicurigai sikap intoleransi dan radikalismenya. Harusnya penelitian seperti ini juga meneliti sikap professional non Muslim terhadap kepemimpinan, gerakan separatisme Papua, budaya liberal Barat dan lain-lain.
Seorang Ketua Dewan Masjid di sebuah daerah pernah menyatakan kepada penulis bahwa saat ini di kantor-kantor pemerintah yang naik banyak pejabat non Muslim. Pejabat Muslim yang dianggap fanatik (radikal) disingkirkan. Hal itu terasa juga di kampus-kampus negeri. “Kini kita tiarap mas,”kata seorang dosen UI yang terkenal fanatik. Di kampus-kampus negeri, dosen-dosen yang terkenal bagus keislamannya kebanyakan tidak diberi jabatan struktural.
Walhasil, politik penyingkiran Islam di lembaga-lembaga pemerintah saat ini mungkin akan terus berlangsung sampai 2024. Bila dalam Pilpres 2024 kelompok Islamofobia ini menang kembali, maka umat Islam akan tiarap kembali. Deislamisasi dilakukan dengan topeng Deradikalisasi. Semoga Allah akan mengubah nasib negeri peninggalan para wali dan ulama ini. Wallahu azizun hakim.[]
Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru.