RESONANSI

Dekolonisasi Pengetahuan: Seruan untuk Merebut Kembali Warisan Intelektual Islam

Muslim harus melampaui reformasi yang dangkal untuk menantang kerangka _Eurocentrisme_ dan menemukan kembali epistemologi mereka sendiri.

Syekh M A Kholwadia, Pendiri dan Direktur Darul Qasim College, Chicago.

Selama abad terakhir, baik pemikir Muslim maupun non-Muslim telah menjadikan dekolonisasi sebagai pusat diskusi reformasi mereka. Jumlah buku, artikel, dan seminar tentang topik ini telah mencapai titik jenuh. Umat Islam memasuki perdebatan ini dengan harapan memahami bagaimana mereka bisa kembali relevan di dunia global, atau setidaknya berpengaruh.

Namun, mereka kesulitan mengidentifikasi secara pasti di mana dan bagaimana agenda umat Islam melenceng. Penjajahan terhadap negara-negara Muslim menjadi sasaran yang paling dekat dan paling mudah untuk dikritik dan disalahkan.

Akibatnya, pemikir Muslim abad ke-20 begitu terserap dalam proses dekolonisasi. Menganalisis akar penyebab kemunduran dan kehancuran kita memang merupakan langkah penting menuju perbaikan dan kebangkitan diri. Namun pertanyaannya, sejauh mana kita telah maju sebagai umat dengan terus-menerus mengulang analisis lama yang hanya meninggalkan rasa getir? Ke mana sebenarnya semua wacana dekolonisasi ini membawa kita?

Saya berani mengatakan bahwa wacana ini justru mendorong kita untuk semakin menyekularisasi nilai-nilai Islam dan mempromosikan prioritas yang keliru — seperti mendorong negara masuk Piala Dunia, membangun gedung pencakar langit tertinggi, menyelenggarakan festival musik, menghabiskan miliaran untuk merekrut pemain sepak bola top dunia, dan menjadi tuan rumah balapan Formula Satu. Di sela-sela itu, ada juga penghargaan terhadap pendidikan, namun sering kali hanya sebatas mengimpor universitas Barat ke dunia Muslim.

Kontribusi besar dari Ismail al-Faruqi, seorang filsuf Muslim terkemuka yang memperkenalkan konsep “Islamisasi ilmu pengetahuan” — yaitu integrasi prinsip Islam ke dalam semua bidang ilmu untuk menyelaraskan pengetahuan modern dengan pandangan dunia tauhid — kini makin terlupakan, tertutup oleh sikap apologetik terhadap liberalisme.

Reformasi Kosmetik dan Dekolonisasi yang Salah Arah

Dalam upaya untuk mendapatkan kembali posisi global, kita tampaknya telah menggantikan reformasi yang bermakna dengan pertunjukan kemajuan yang dangkal.

Di dunia akademik Barat, diskusi mengenai dekolonisasi berawal dari analisis paradoks pendirian oleh Jean-Jacques Rousseau, lalu berkembang ke teori spontanitas Frantz Fanon, konsep demokrasi terpimpin Sukarno, dan paradoks kolonisasi Ali Shariati. Seruan al-Faruqi untuk Islamisasi ilmu pengetahuan menumbuhkan kesadaran di kalangan Muslim bahwa penentuan nasib sendiri juga mencakup kebangkitan epistemologi Muslim. Hal ini sejalan dengan gagasan sarjana Peru Anibal Quijano bahwa dekolonisasi menuntut tantangan kritis terhadap dominasi Eurocentrisme dalam penguasaan pengetahuan.

Dominasi pengetahuan global oleh Barat, terutama di bidang-bidang yang sebenarnya tak punya legitimasi untuk dipimpin, begitu nyata. Para kurator koleksi manuskrip Islam, misalnya, kerap merasa berwenang untuk menafsirkan sejarahnya dengan cara mereka sendiri — sering kali bertentangan dengan maksud penulis aslinya maupun penafsir klasik.

Sebagai pendiri Darul Qasim, sebuah lembaga studi Islam lanjutan di Illinois, saya menyaksikan sendiri hal ini dalam pameran manuskrip langka Al-Qur’an, di mana seorang wanita non-Muslim ditugaskan untuk “menceritakan kisah” naskah-naskah tersebut. Ketika seorang mahasiswa Darul Qasim membetulkan beberapa kesalahan dalam narasinya, ia hanya menjawab dengan sinis: “Saya yang bertanggung jawab di sini.”

Contoh lain: seorang cendekiawan Darul Qasim mengirimkan manuskrip tentang tata bahasa Arab klasik ke penerbit Barat terkemuka. Naskah itu ditolak dengan alasan: “Kami tidak bisa menerima karya ini karena Anda tidak mengutip sumber Barat.” Ini memperlihatkan bagaimana penguasaan akademik Barat tetap mempertahankan cengkeraman Eurocentris atas ilmu pengetahuan.

Melampaui Islamisasi: Menuju Desekularisasi Pengetahuan

Al-Faruqi berupaya menyelamatkan pengetahuan Islam dari dominasi Barat. Visi beliau adalah “mengislamkan” ilmu pengetahuan dengan membersihkannya dari konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam. Gagasannya dilandaskan pada pendekatan tauhid yang menyatukan seluruh ilmu dengan pandangan dunia umat. Konsep ini kemudian disebarkan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Namun, meskipun gagasan al-Faruqi merupakan langkah penting, itu belum mencapai tujuan akhir dekolonisasi yang menyeluruh.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button