Dekolonisasi Pengetahuan: Seruan untuk Merebut Kembali Warisan Intelektual Islam
Muslim harus melampaui reformasi yang dangkal untuk menantang kerangka _Eurocentrisme_ dan menemukan kembali epistemologi mereka sendiri.

Yang dibutuhkan adalah teori yang melampaui sekadar Islamisasi ilmu. Saya mengusulkan pendekatan yang lebih dalam terhadap apa yang disebut para sarjana sebagai “kolonialitas pengetahuan” — yaitu dominasi abadi dari kerangka pikir Eurocentris yang masih membentuk pemikiran intelektual global. Kita harus mengembangkan teori desekularisasi pengetahuan, yang menata kembali pengetahuan dari aspek epistemologi-nya, bukan sekadar politik atau ekonomi. Tugas para sarjana Muslim adalah merumuskan dan menghadirkan teori epistemologi Islam yang koheren dan efektif.
Epistemologi Islam dan Kesatuan Pengetahuan
Epistemologi Islam mengenali tiga sumber utama pengetahuan:
- Pengetahuan yang datang melalui lima pancaindra
- Pengetahuan yang berasal dari akal manusia
- Pengetahuan yang disampaikan melalui kabar yang benar dan sahih, seperti wahyu kepada nabi
Tiga hal ini mencakup seluruh sumber pengetahuan yang dikenal manusia, termasuk intuisi dan mimpi yang juga dipahami sebagai produk akal.
Secara historis, umat Islam memainkan peran utama dalam menguasai dan menyebarkan ketiga sumber ini. Dalam Islam, pengetahuan tak pernah terpisah dari Allah, sumber asli dari segala pengetahuan. Berbeda dengan tradisi Barat yang memisahkan ilmu dari Tuhan demi modernitas dan kemakmuran, Islam menegaskan bahwa kreativitas sejati bersumber dari Allah, dan bahwa inovasi adalah hasil penghormatan terhadap ilmu Allah tentang dunia.
Sayangnya, dunia Muslim kini diliputi ketegangan mendalam dalam membedakan antara pengetahuan Islam dan sekuler. Banyak yang percaya bahwa umat Islam harus melalui renaisans ala Barat untuk kembali berjaya — tanpa memikirkan akhirat. Padahal umat Islam percaya pada akhirat, dan inilah yang menciptakan dikotomi palsu: seolah-olah umat Islam harus bersaing dengan Barat sambil tetap mematuhi syariat keselamatan akhirat. Ini menciptakan pemisahan semu antara yang “Islam” dan yang “sekuler”.
Saya percaya dikotomi ini keliru. Siapa pun yang memahami hukum Islam (fiqih) akan mengetahuinya. Syariat mengatur bagaimana Muslim berperilaku di dunia yang berdampak langsung pada kehidupan akhirat. Misalnya, Muslim memberi sedekah bukan hanya untuk membantu sesama, tetapi juga karena yakin akan pahala di akhirat. Maka, sedekah bukan sekadar nilai kemanusiaan, melainkan nilai religius yang mendalam. Keimanan terhadap akhirat mendesekularisasi bahkan tindakan paling sederhana sekalipun.
Ilmu yang Bermanfaat dan Lebih Bermanfaat
Saya mengusulkan agar epistemologi Islam tidak memisahkan ilmu menjadi “sekuler” dan “sakral”, tetapi membedakannya sebagai:
- Nafi’ (bermanfaat)
- Anfa’ (lebih bermanfaat)
Ilmu yang bermanfaat (nafi’) adalah yang berguna bagi manusia atau makhluk lain di dunia ini. Contohnya: Allah mengajarkan Nuh membuat bahtera dari papan kayu, dan mengajarkan Daud teknik menempa besi menjadi baju zirah. Ini adalah ilmu dari Allah, maka tak bisa dianggap “sekuler”. Membangun jembatan, rumah sakit, dan sekolah juga termasuk ilmu nafi’.
Ilmu yang anfa’ (lebih bermanfaat) adalah yang berguna untuk akhirat — seperti membaca Al-Qur’an, ibadah, dan mendekatkan diri pada Allah. Mendirikan madrasah, masjid, dan lembaga zakat termasuk dalam kategori ini.
Umat Islam tidak perlu membuat dikotomi palsu dalam pengetahuan, karena tauhid — keesaan Allah — juga mencakup kesatuan ilmu. Maka, tidak perlu “mendesekularisasi” pengetahuan, tapi menempatkannya sesuai dengan manfaatnya di dunia dan akhirat. Kuncinya adalah meyakini keberadaan alam akhirat. Saya berani katakan, di zaman ketika teori “multiverse” diterima, maka kehidupan setelah mati bukanlah hal yang terlalu sukar untuk dipercaya — meskipun oleh kaum sekuler. []
Sumber: AL JAZEERA