Demi Jaga Ketauhidan, Umat Haram Pilih Dedi Mulyadi
Dalam berbagai pengajian yang dihubungkan dengan masalah kepemimpinan lazim dinasihatkan bahwa umat Islam wajib untuk memiliki pemimpin yang beriman, taat kepada Allah, tekun beribadah, beramar ma’ruf nahi munkar, menjauhi maksiat, di samping tentu saja kompeten.
Memilih atau mengangkat pemimpin yang tidak berbasis agama dapat mendatangkan murka Allah. Apalagi pemimpin itu gemar mempermainkan dan menista agama Allah.
Seorang muslim harus memperhatikan akidah, syariah dan akhlak si pemimpin. Bila membahayakan maka bukan saja haram untuk dipilih tetapi tidak boleh ditaati “la tha’ata li makhluq fi ma’siyatil kholiq”–tidak taat kepada makhluk dalam hal ma’siyat kepada Al Khaliq (pencipta). Pemimpin yang mengarahkan pada kesesatan harus ditolak dan dilawan.
Dalam lima kategori hukum Islam (al ahkam al khamsah) dikenal Wajib untuk perbuatan berpahala jika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan, Sunnat berpahala dikerjakan tidak apa-apa ditinggalkan, Mubah atau Jaiz tidak apa-apa dikerjakan maupun ditinggalkan, lalu Makruh yaitu ditinggalkan berpahala dikerjakan tidak apa-apa, dan Haram untuk dosa jika dikerjakan, pahala ditinggalkan.
Pendekatan fiqh ini berlaku untuk ibadah maupun muamalah. Dalam memilih pemimpin kemasyarakatan dan kenegaraan juga berlaku kaidah “al ahkam al khamsah”. Standarnya adalah komitmen keagamaan. Jika pemimpin kompeten dan khidmah pada agama maka hukumnya Wajib untuk dipilih dan diikuti. Sebaliknya jika pempimpin itu banyak gaya dan jauh dari agama, musyrik atau munafik, maka Haram untuk dipilih dan diikuti.
Khusus Pilkada di Jawa Barat kandidat kontroversial yang tampilannya rentan aspek keagamaannya adalah Dedi Mulyadi. Ia sering berperilaku aneh. Di samping pakai BH dan celana dalam wanita untuk candaan, juga ada acara sesajen sembah andong, lalu beredar pula video soal tafsir keagamaan yang nenekmoyangisme. Dedi berdalih berkhidmat pada budaya dan membantah hal itu syirk.
Memang urusan hati tidak ada yang mampu baca, akan tetapi dari gestur kegiatan dan perilaku itu wajar menimbulkan akibat pada penilaian, sekurangnya dapat memancing fitnah. Banyak tampilan Dedi Mulyadi yang dinilai dari aspek keagamaan dikualifikasi sebagai syirk atau musyrik. Umat Islam sangat mudah untuk membacanya.
Upacara sesajen, kayakinan mistik, serta nenekmoyangisme termasuk kategori menduakan Tuhan dalam ajaran Islam. Dedi Mulyadi sudah bertahun tahun mempraktekan hal itu bahkan ia pernah dijuluki sebagai “Raja Musyrik”. Ketika menjadi Bupati Purwakarta banyak patung dibangun di wilayahnya. Namanya berhala bila merujuk pada faham paganisme. Umat Islam pernah pula melakukan gerakan penghancuran atas patung itu.
Sosok kontroversial Dedi tidak patut memimpin Jawa Barat yang dikenal relijius. Ia bakal terus memancing dan menimbulkan kegaduhan dan kemudharatan. Buruk bagi daya dukung pengembangan Jawa Barat itu sendiri. Terlalu banyak musuh yang akan diciptakan dan hal itu berkaitan dengan prinsip keagamaan.
Demi mencegah kemudaratan agama dan menghindari murka ilahi, maka umat Islam di Jawa Barat khususnya yang sadar akan kewajiban untuk selalu menjaga ketauhidan kepada Allah SWT, maka hukumnya Haram untuk memilih Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat.
Tidak memilihnya insyaallah mendapat pahala dari Allah SWT, sedangkan memilihnya tentu berdosa. Naudzubillahi min dzalik.
Jikapun dengan segala cara akhirnya terpilih juga, maka umat harus tetap terus bergerak untuk meluruskan dan melawan. Tugas dakwah adalah mencegah dan menindak kemungkaran.[]
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 3 November 2024