Demi Tujuan Pendidikan, HNW: Mestinya Menag Nasihati Mendikbud yang Permennya Banyak Ditolak
Lebih lanjut, HNW mengatakan banyak pihak mempersoalkan frasa “bila itu terjadi dengan tidak sepersetujuan” (sexual consent) yang dapat diartikan bahwa bila “sepersetujuan” maka sekalipun perbuatan seksual tersebut menyimpang atau asusila seperti perzinahan, seks bebas, seks di luar nikah, oleh Permendikbudristek ini dianggap bukan suatu persoalan yang harus dicegah dan ditangani, sekalipun perbuatan seksual itu tidak sesuai dengan Pancasila, agama, hukum, norma sosial dan tujuan pendidikan nasional di Indonesia.
HNW mengingatkan bahwa tujuan pendidikan nasional yang sudah jelas termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945 sangat menghormati agama dan mementingkan nilai-nilai agama, seperti iman, taqwa, akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Dengan demikian, maka Permendikbudristek ini malah secara tidak langsung menjadi payung aturan untuk tidak mempermasalahkan seks bebas, perzinahan, maupun hubungan seksual lain di Perguruan Tinggi, sekalipun itu dilarang oleh Agama,hukum dan tak sesuai dengan norma sosial di Indonesia, selama hubungan seksual itu terjadi tanpa kekerasan dan atau terjadi dengan persetujuan (suka sama suka),” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut HNW, demi bisa terwujudnya tujuan pendidikan nasional tersebut dan ketaatan pada perwujudan Sila pertama Pancasila, semestinya Kementerian Agama menjadi rujukan dan keteladanan yang baik, termasuk dalam produk legislasi dan aturan yang diedarkan ke sekolah maupun perguruan tinggi keagamaan, bukan justru mendukung aturan yang bermasalah seperti Permendikbudristek itu.
“Sangat baik, dan semestinya bila Menag menasehati Mendikbud terkait Permendikbudristek yang kontroversial itu. Apalagi kritikan-kritikan dan penolakan-penolakan itu terkait dengan konten yang terhubung dengan diabaikannya ajaran agama, maka sewajarnya bila Kemenag ikhlas berlaku moderat dan inklusif, mendengarkan kritik dan penolakan-penolakan itu, kemudian bermusyawarah dengan lembaga-lembaga yang otoritatif seperti MUI dan lainnya. Bukan malah secara eksklusif mendukung tanpa reserve, dan mengabaikan kritik dan penolakan meluas yang rasional, argumentatif dan konstitusional, dari berbagai kelompok masyarakat termasuk dari Pimpinan MUI, Madiktilitbang PP Muhammadiyah, Rektor UNU Yogyakarta, 14 Ormas Islam, Wakil Ketua Komisi X DPR dan Anggota-Anggota DPR seperti dari PKS dan masyarakat luas lainnya,” jelasnya.
Padahal, lanjut HNW, kritik dan penolakan yang disampaikan juga berangkat dari keprihatinan yang sama yaitu koreksi terhadap kejahatan seksual termasuk kekerasan seksual, karenanya kritik-kritik dan penolakan itu juga sudah menyertakan solusinya, agar peraturan Menteri itu dapat efektif dan tidak malah jadi kontroversi dan menuai penolakan luas, agar kejahatan seksual baik dengan kekerasan atau tidak, dengan persetujuan atau tidak, di Perguruan Tinggi maupun lainnya, dapat dikoreksi dengan Permendibudristek baru (hasil revisi), yang bisa dilaksanakan dengan tanpa kontroversi, karena kesesuaiannya dengan Pancasila, UUD, Agama dan hukum serta norma sosial yg berlaku umum di Indonesia.
“Agar permen seperti itu bisa bersatu bersama keprihatinan publik, agar tujuan pendidikan nasional yang diharapkan dapat diwujudkan, dengan bisa dicegah dan diatasinya kejahatan dan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi maupun jenjang pendidikan lainnya, untuk bisa mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sangat menghormati Agama dan nilai-nilai keagamaan, sebagaimana diatur oleh pasal 31 ayat 3 dan 5 UUD 1945,” pungkas HNW.
red: adhila