Demonstrasi Berujung Rusuh, Bagaimana Hukumnya?

Tulisan ini dapat dipandang sebagai kelanjutan dari karya penulis sebelumnya berjudul “Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Era Modern: Menimbang Hukum Demonstrasi dalam Islam” yang membahas isu demonstrasi dalam perspektif hukum Islam.
Dalam tulisan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer terkait hukum demonstrasi. Sebagian ulama menolak praktik demonstrasi dengan alasan tidak sesuai dengan metode dakwah Nabi Muhammad Saw., berpotensi menimbulkan kerusakan sosial, serta membuka peluang terjadinya pelanggaran syariat.
Sebaliknya, sebagian ulama lain memperbolehkan demonstrasi dengan syarat-syarat ketat, antara lain tujuan yang benar, dilakukan secara damai, serta tidak disertai tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Baca juga: Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Era Modern: Menimbang Hukum Demonstrasi dalam Islam
Dalam tulisan lanjutan ini, penulis berupaya mengkaji praktik demonstrasi di Indonesia dengan menyoroti sejauh mana praktik tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah: apakah demonstrasi di Indonesia dapat dipandang sejalan dengan tuntunan Islam sehingga diperbolehkan, atau justru bertentangan dengan syariat sehingga dinilai terlarang?
Stabilitas Sosial-Politik Indonesia Agustus-September 2025
Dalam konteks sosial-politik Indonesia, demonstrasi kembali menjadi sorotan pada Agustus–September 2025. Sebagaimana diberitakan oleh banyak media massa, aksi bermula pada 25 Agustus 2025, ketika ribuan massa menggelar protes besar-besaran di depan gedung DPR RI terkait tunjangan perumahan anggota DPR yang dinilai berlebihan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit. Aksi ini dengan cepat menyebar ke berbagai daerah dan mengalami eskalasi serius.
Alih-alih berlangsung damai, sejumlah demonstrasi berkembang menjadi kerusuhan yang disertai perusakan fasilitas umum, pembakaran gedung DPRD di beberapa kota, serta penyerangan dan penjarahan rumah beberapa pejabat negara.
Situasi semakin memanas setelah seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun, Affan Kurniawan, meninggal dunia akibat tertabrak kendaraan lapis baja kepolisian. Tragedi ini menjadi simbol ketidakadilan dan pemicu semakin meluasnya amarah publik. Pada penghujung Agustus hingga awal September, gelombang demonstrasi mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka di kalangan masyarakat maupun aparat, serta kerusakan infrastruktur publik dan fasilitas pemerintahan. Kondisi ini membuat media internasional menyoroti Indonesia sebagai negara yang tengah menghadapi krisis legitimasi dan stabilitas politik.
Sebagai bentuk respons, pada 1 September 2025 Presiden Prabowo Subianto mengumumkan langkah korektif dengan membatalkan tunjangan perumahan DPR, membatasi perjalanan luar negeri anggota parlemen, serta memerintahkan penyelidikan resmi atas kematian Affan Kurniawan. Di sisi lain, pemerintah juga berusaha menenangkan situasi dengan meluncurkan paket kebijakan sosial-ekonomi.
Fenomena demonstrasi pada interval waktu ini memperlihatkan dua wajah yang kontras: di satu sisi, ekspresi aspirasi rakyat untuk menegakkan keadilan; di sisi lain, potensi anarki yang merugikan masyarakat luas melalui perusakan, pembakaran, penjarahan, dan jatuhnya korban jiwa.
Islam Meninjau: Hukum Perusakan Fasilitas dan Penjarahan Harta
Tindakan merusak fasilitas umum maupun melakukan penjarahan terhadap harta orang lain secara tegas dihukumi haram dalam Islam. Hal tersebut karena perbuatan demikian bertentangan dengan salah satu tujuan utama kehadiran syariat, yaitu ḥifẓ al-māl (menjaga harta). Prinsip ḥifẓ al-māl menegaskan bahwa Islam memandang harta sebagai bagian dari kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
Oleh karena itu, syariat menetapkan berbagai aturan dan bimbingan yang mendorong manusia untuk memperoleh dan mengusahakan harta dengan cara yang halal, menjamin pemeliharaannya, menjaga keberlangsungannya, serta mengarahkan pada pengembangannya secara produktif.