Demonstrasi Bukan Kriminal, Pelajar dan Mahasiswa Tak Perlu Diancam
Aksi demonstrasi di berbagai daerah yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pelajar pasca-pengesahan RUU Cipta Kerja, telah diberi stigma buruk oleh pemerintah. Padahal, demonstrasi bukanlah perbuatan kriminal atau bentuk kejahatan, melainkan hak konstitusional warga negara yang dijamin hukum dan konstitusi.
Munculnya surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi bernomor 1035/E/KM/2020 yang meminta agar pimpinan perguruan tinggi mengimbau para mahasiswanya untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, serta ancaman ‘blacklist’ SKCK (Surat Keterangan Cukup Kelakuan) dari pihak kepolisian kepada para pelajar yang ikut demonstrasi, adalah bentuk intimidasi yang menyalahi ketentuan dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi bahkan hak azasi manusia (HAM).
Berdemonstrasi, atau aksi mengeluarkan pendapat lainnya yang dilakukan secara damai bukanlah tindak pidana dan bukan pula suatu kejahatan. Tak pantas kalau aparat pemerintah membuat stigmatisasi negatif kepada para pelaku aksi tadi, atau menakut-nakuti mereka dengan sejumlah ancaman hukum.
Polisi tidak bisa dan tidak boleh melarang para pelajar ikut berdemonstrasi, karena memang tidak ada satu undang-undangpun yang melarangnya. Sama seperti halnya warga negara lain yang telah dewasa, para pelajar juga memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Silakan baca di UU Perlindungan Anak, tidak ada larangan sebagaimana yang dikesankan oleh polisi. Undang-undang hanya melarang anak-anak itu dieksploitasi. Kalau mereka dieksplotasi, seperti dibayar, atau sejenisnya, ini yang dilarang undang-undang. Kalau ikut karena kesadarannya sendiri, aparat pemerintah tak boleh menghalang-halangi mereka.
Pertanyaannya kemudian, apakah ketika anak-anak itu ikut demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, mereka ikut atas kemauan sendiri, atau karena dieksploitasi oleh pihak lain?
Saya kira para pelajar kita, terutama anak-anak SMA dan STM, bukanlah anak-anak kemarin sore. Bahkan sejak zaman Belanda, para pelajar setingkat SMA sudah terlibat dalam berbagai aksi politik. Begitu juga yang terjadi pada tahun 1966, atau 1998, para pelajar kita dengan kesadarannya sendiri sudah biasa turun ke jalan. Pada usia itu, mereka memang sudah melek politik. Jadi, kalau ada orang yang meragukan atau mengecilkan kesadaran politik anak-anak SMA dan STM, orang itu pastilah buta sejarah.
Kalau pelajar saja sejak dulu sudah biasa terlibat dalam aksi unjuk rasa, apalagi mahasiswa. Sehingga, saya cukup heran membaca surat edaran Dirjen Dikti kemarin. Surat semacam itu harus dikecam, karena merupakan bentuk intervensi terhadap hak-hak politik dan kewargaan yang dimiliki para mahasiswa. Surat semacam itu adalah preseden buruk. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menurut saya, telah melanggar batas kewenangannya.
Perlu diketahui, berbeda dengan pelajar, para mahasiswa umumnya telah berusia lebih dari 17 tahun, sebuah usia yang dalam sistem perundang-undangan kita tak lagi dianggap sebagai anak-anak. Pada usia itu, negara telah memberi mereka hak pilih, serta sejumlah hak politik lainnya, termasuk kebebasan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana halnya warga negara senior lainnya.
Hak politik itu melekat pada para mahasiswa dalam statusnya sebagai warga negara, bukan dalam status kemahasiswaan mereka. Sehingga, mengintervensi hak-hak politik kewargaan itu melalui status kemahasiswaan mereka, adalah bentuk tindakan sewenang-wenang, tidak arif, serta cenderung anti-demokrasi.
Kalau saja Dirjen Dikti hanya memberikan imbauan agar pimpinan perguruan tinggi mengingatkan mahasiswanya untuk mematuhi protokol kesehatan dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari, itu tidak apa-apa. Imbauan itu memang harus mereka sampaikan.Tetapi, begitu masuk ke isu demonstrasi omnibus law Cipta Kerja, itu sudah ‘offside’.
Begitu juga imbauan agar kampus melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja, itu merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan mimbar akademik di kampus. Imbauan semacam itu telah merendahkan martabat perguruan tinggi kita, seolah mereka adalah kaki tangan rezim yang tugasnya sekadar menjadi humas pemerintah. Padahal, perguruan tinggi seharusnya diposisikan sebagai cagar alam intelektualitas.
Lagi pula, imbauan untuk mengkaji omnibus law adalah ajakan yang sangat basi. Mestinya, ajakan itu disampaikan ketika UU Cipta Kerja sedang dibahas di parlemen, agar kampus bisa ikut mengkritisi dan memberi catatan. Kalau sudah disahkan, apa gunanya diberi catatan? Jadi, ajakan untuk mengkaji UU Cipta Kerja, menurut saya, mengandung sesat pikir.
Demonstrasi adalah bentuk ekspresi politik dan hak kewargaan yang dijamin tegas oleh konstitusi. Pemerintah, baik polisi atau Kemendikbud, tidak bisa menjadikan pandemi sebagai dalih untuk membatalkan hak yang dimiliki oleh para pelajar dan mahasiswa itu. Kalau pemerintah saja percaya bisa mengatur lebih dari 100 juta orang pemegang hak pilih pada Pilkada 2020 untuk mematuhi protokol kesehatan, kenapa kita tak bisa mempercayai ratusan, atau ribuan pelajar dan mahasiswa bisa berdemo dengan memperhatikan protokol serupa?
Saya berharap, polisi dan Kemendikbud seharusnya belajar menjadi pengayom.
Kepada adik-adik pelajar dan mahasiswa, situasi saat ini memang dilematis. Saya paham, sikap diam akan cenderung dianggap sebagai persetujuan atas berbagai hal buruk yang saat ini tengah berlangsung. Namun, pandemi ini juga tidak bisa diabaikan.
Tetap perhatikan protokol kesehatan saat sedang berada di jalanan untuk memperjuangkan hak-hak kewargaan yang telah dijamin oleh konstitusi kita.
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, mantan Aktivis