Dendam Lama Dimulainya Islamofobia
Tapi hal yang melegakan adalah, jika Nabi Musa as dan kedua belas suku bangsa Israel berkelana di Gurun Sinai selama empat puluh tahun, hanya mampu menaklukkan area tak lebih dari 100 mil. Maka, dakwah Rasulullah Saw saja dalam sebelas tahun mencapai 1.000.000 mil. Abu Bakar As-Shidiq dalam dua tahun kepemimpinan menambah dengan menaklukkan 200.000 mil, Umar bin Khattab 1.500.000 mil dan Ustman bin Affan 800.000 mil. Sehingga total wilayah yang telah memeluk Islam selama kemimpinan Islam 35 tahun setelah Hijriyah, mencapai 3.500.000 mil.
Tak hanya itu, Dinasti Sasanid Persia yang telah memerintah dan menguasai dunia selama 395 tahun pun, jatuh ke tangan bangsa yang baru berusia tiga dasawarsa, yang belum memiliki pengalaman administrasi dan peperangan yang mumpuni. Namun hal ini terjadi, semata karena umat Islam memiliki keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketinggian dari agama-Nya inilah yang membuat Islam tersebar dengan demikian cepat dengan cara yang menakjubkan.
Disinilah kisah Islamofobia dimulai.
Sebelum mengupas kisah Islamofobia lebih dalam, perlu diketahui bahwa penyebaran Islam bukanlah semata masalah perebutan wilayah tapi sesungguhnya penyebaran Islam dilakukan dengan perebutan hati manusia. Inilah yang menjadi rahasia, mengapa Islam menyebar dengan percepatan yang fantastis, sekaligus menjadi ketakutan Barat.
Awal gerakan Islamofobia dimulai pada abad ke-7 hingga ke-18 Masehi. Tujuan dari gerakan ini adalah memberi proteksi pada agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama Islam. Gerakan ini berpusat di kantung-kantung Kristen, yakni Syiria, Paletina, Mesir, Libya dan sekitarnya. Berikut, tokoh-tokoh dari gerakan Anti-Islam periode yang pertama,
Yohannes (675-750M), Peter The Venerable (1084-1156M), Robert of Ketton (1084-1156M), Raymond Lull (1235-1316M), Martin Luther (1483-1546M), Ludovico Marraci (1612-1700M).
“Mereka memperalat pena dengan cara yang tidak sederhana, menghendaki sikap ketololan dan pemalsuan (ajaran Islam dan Kitab Sucinya).” Prof. Dr. M.M al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, hal.9 . Hal ini didukung oleh perubahan politik di Barat dan dimulainya penjajahan sejak abad ke-18 hingga seterusnya.
Kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh misionaris pada periode kedua, abad ke-18 M hingga 20 M, Abraham Geiger (1810-1874M), Noldeke (1836-1930M), Goldziher (1850-1921M), Flurgonje (1857-1936M), Bergstrasser (1886-1930M), Tisdall (1859-1928M), Jeffery (1952M), Schact (1902-1969M).
Misionaris Barat tidak bisa menerima bahwa kitab suci umat Islam, Al-Qur’an terjaga utuh dari segala kesalahan dan menyimpangan.
Sebagaimana beberapa tulisan para ahli Biblikal seperti Ernest Wurtwein, dengan bukunya “The Text of The Old Testament” atau Bart D. Ehrman dengan bukunya “The Orthodox Corruption of Scripture” yang mengupas kesalahan-kesalahan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Maka pemikiran seperti ini juga mereka terapkan dalam memandang Al-Qur’an. Dan Mushaf Ustmani yang memang tidak memiliki tanda titik, dijadikan dalih bahwa cara membaca Al-Qur’an bisa saja berbeda, dan maknanya pun sangat mungkin berbeda.