Depresiasi Rupiah Kian Mengkhawatirkan

Mata Uang Islam Nihil Depresiasi
Islam mengatur ekonomi, termasuk masalah mata uang. Islam mewajibkan negara mengadopsi standar mata uang berupa emas (dinar) dan perak (dirham) ataupun uang subtitusi. Nominal uang ditentukan oleh nilai intrinsik. Kondisi tersebut membuat negara tak bebas memproduksi uang yang beredar. Negara hanya dapat menambah jumlah uang subtitusi baik kertas ataupun logam sesuai dengan peningkatan kepemilikan cadangan emas dan perak. Faktor inilah yang menjadikan emas dan perak dapat menjamin kestabilan finansial.
Mata uang emas dan perak telah terbukti tahan terhadap inflasi. Harga seekor kambing zaman Rasulullah Saw satu sampai dua dinar setara dengan harga kambing di pasaran sekarang. Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS dalam bukunya The Golden Constant telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil.
Dengan menggunakan emas dan perak, masalah-masalah finansial seperti inflasi, volatilitas dan rendahnya daya beli masyarakat dapat dihindarkan. Emas perak bersifat universal dan tak terpengaruh sekat negara. Karena emas dapat ditukarkan dengan mata uang apapun di dunia, tanpa mengurangi sedikitpun harganya.
Islam melarang riba karena diharamkan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Apabila diketahui ada transaksi ribawi oleh lembaga atau individu dianggap ilegal dan melanggar syari’at. Pelakunya disanksi oleh negara.
Islam memiliki aturan terkait dalam pengelolaan kepemilikan umum (SDA atau aset ekonomi lainnya). Negara tak berhak memiliki dan menguasai kepemilikan umum ini. Negara hanya mengeksplorasi dan mendistribusikannya pada rakyat baik barang maupun jasa. Pengelolaannya tak boleh diserahkan pada individu atau asing. Sehingga tak ada liberalisasi ekonomi dalam kebijakan negara.
Islam juga mengatur perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Faktor yang diperhatikan dalam perdagangan luar negeri adalah pemilik atau negara asal komoditas. Karena perdagangan luar negeri terikat hukum syara’ yang mengatur interaksi negara Islam dengan negara lain. Berlandaskan prinsip ini, individu atau lembaga dalam negara tak boleh melakukan perdagangan luar negeri tanpa seizin negara.
Islam memprioritaskan kemandirian pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat dalam negeri, agar tak tergantung asing. Karena ketergantungan pada asing dapat membuka jalan penguasaan asing terhadap negara. Barang dan jasa yang strategis seperti pangan, energi, infrastruktur dan industri berat harus mampu dihasilkan secara mandiri. Kemandirian dan produktivitas tinggi akan mendorong negara Islam mengekspor barang dan jasa bernilai tinggi. Hal ini akan memberikan keuntungan berupa peningkatan cadangan devisa negara.
Perekonomian negara kuat apabila terdapat keseimbangan antara uang yang beredar di pasaran dengan barang dan jasa. Ekonomi Islam lebih menitikberatkan investasi sektor riil. Sektor ini dapat memastikan harta kekayaan di tengah masyarakat dapat berputar dan mencegah terjadi penimbunan kekayaan. Islam tak akan mentolerir berkembangnya investasi sektor non riil (pasar modal/saham). Karena uang adalah alat tukar, bukan komoditas yang diperdagangkan. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Desti Ritdamaya, Praktisi Pendidikan.