Derita Pekerja Migran dan Rumah Tangga
Harapan penghidupan yang layak pupus dari angan para pekerja migran Indonesia (PMI) di negeri Jiran. Bukannya berhasil memperbaiki ekonomi keluarga, justru siksaan tak manusiawi yang mereka dapat.
Dari ribuan kaus yang diterima KBRI, ratusan di antaranya adalah korban penganiayaan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia. Sementara ribuan korban lainnya harus menghadapi eksploitasi fisik tanpa bayaran sepeser pun. Mereka rela membanting tulang jauh di negeri orang, meninggalkan anaknya, demi memenuhi kebutuhan keluarga yang dirasa tak cukup bila hanya bekerja dengan bayaran kecil di negeri sendiri.
Salah satu korban, Meriance, menceritakan kisah pilunya. Dalam dokumen putusan pengadilan Indonesia terhadap kasusnya yang terungkap 2014 silam, disebutkan bahwa ia sering dipukuli tangan dan kakinya menggunakan hamar, ditempel setrika tubunya, dipukul wajahnya dengan pentungan hingga tulang hidung patah memar.
Bahkan, puting susu dan kemaluan dijepit menggunakan tang. Ia mengatakan, dirinya sempat ingin menyerah namun bayangan empat orang anaknya menjadi penguat untuk bertahan, sehingga ia memutuskan untuk mencari pertolongan. Delapan tahun berlalu, bekas luka itu masih terlihat di sekujur tubuh meriance. Hingga kini pun, ia masih menuntut keadilan sebab majikannya tak mendapat hukuman apapun dari pengadilan Malaysia.
Di tengah semua ini, permintaan pekerja di sektor ini terus meningkat hingga mencapai 66.000 pemintaan sampai Februari 2023, sebagaimana yang disampaikan KBRI Malaysia. Harga yang dibayarkan agen di Malaysia setidaknya berjumlah Rp30 juta untuk seorang pekerja rumah tangga, sementara sektor seperti perkebunan, pabrik, dan kebersihan dihargai sekitar Rp10 juta. Padahal, pekerja yang dikirim kebanyakan merupakan pekerja illegal. Korban terus bertambah di tangan agen-agen bisnis perdagangan manusia, bisnis yang “sangat besar keuntungannya”. Namun, pemerintah hingga kini masih luput dan belum berhasil memberantasnya.
Menanggapi permasalahan maraknya penganiayaan dan eksploitasi tenaga kerja migran, Kementerian Ketenagakerjaan kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 4 Tahun 2023 guna meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi Pekerja Migran Indonesia. Permenaker terbaru itu dikatakan memberikan penambahan manfaat jaminan sosial dalam hal terjadinya kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua yang mungkin menimpa PMI.
Menurut Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah, “Hadirnya Permenaker ini merupakan wujud hadirnya negara untuk PMI dimana iuran tetap, manfaat meningkat”. Sungguh, ironi mengingat kondisi pekerja yang justru kebanyakan tak mendapat upah namun diminta untuk membayar asuransinya sendiri.
Di sisi lain, para Pekerja Rumah Tangga dalam negeri pun mengalami berbagai bentuk ketidak adilan. Tercatat setidaknya terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT, mulai dari kekerasan fisik, psikis, kekerasan ekonomi (tidak diupah), dan kekerasan seksual.
Pada perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret lalu, PRT di beberapa titik kota melakukan aksi mendesak disahkannya RUU PRT yang sudah mangkrak selama 19 tahun. Padahal di Indonesia sendiri, jumlah PRT terhitung mencapai 4,2 juta orang.
Sejatinya, tidak ada satupun wanita di dunia yang menginginkan menjadi pembantu/pekerja rumah tangga maupun pekerja migran. Mereka terpaksa menjadi PRT tak lain karena terjebak kemiskinan keluarga. Tak dipungkiri, kini kondisi ekonomi serba sulit.
Tanggungan hidup yang tinggi, minimnya lahan pekerjaan, pun gaji yang tak sebanding dengan kebutuhan membuat wanita harus ikut membanting tulang demi mencari sesuap nasi. Mereka akhirnya memilih melakukan pekerjaan apapun asal mendapat uang. Bahkan mereka rela meninggalkan buah hati tercinta karena iming-iming upah yang lebih tinggi di luar negeri.