Di Gaza, Air Juga Membunuh
Memberi air, mencari air, meminum air, berenang di air — semua itu bisa membuatmu terbunuh.

Saya sendiri menjadi korban. Beberapa bulan lalu, setelah meminum air dari sumur lokal, saya tertular hepatitis A. Kulit dan bagian putih mata saya berubah menjadi kuning pucat. Gelombang mual membuat saya tak bisa makan, dan demam yang terus-menerus membuat setiap napas terasa berat. Tapi yang paling menyakitkan adalah nyeri luar biasa di perut — seperti isi perut saya dipelintir oleh tangan-tangan tak terlihat. Selama berminggu-minggu saya terbaring lemas, tubuh saya lemah, pikiran saya dipenuhi rasa takut.
Kunjungan ke klinik tak banyak membantu — hanya resep pereda nyeri dan ucapan “salamtek” (semoga sembuh). Saya harus melawan infeksi itu sendiri.
Saya selamat, tapi yang lain tidak seberuntung saya. Hepatitis, seperti penyakit bawaan air lainnya yang merajalela di Gaza, bisa membunuh.
Di tengah panas menyengat musim panas, orang mungkin berpikir laut bisa memberi sedikit kelegaan. Tapi bahkan laut pun kini membawa maut.
Beberapa pekan terakhir, militer Israel mendeklarasikan seluruh garis pantai Gaza sebagai zona terlarang, secara efektif melarang warga Palestina berenang, memancing, bahkan sekadar mendekati laut. Siapa pun yang mendekat akan ditembak.
Bahkan sebelum larangan itu, tentara Israel telah menyerang warga Palestina yang mencoba turun ke laut untuk memancing demi mengurangi kelaparan keluarga mereka. Hingga Desember 2024, sekitar 200 nelayan telah dibunuh, menurut PBB; dan lebih banyak lagi yang tewas sejak saat itu.
Sementara kami dilarang dari satu-satunya tempat yang dulu bisa memberi kami sedikit pelarian dari panas, hanya beberapa kilometer ke utara, warga Israel bebas menikmati ombak Laut Tengah, berjemur, dan berenang dengan tenang. Mereka juga menikmati mandi panjang dan air yang terus mengalir. Konsumsi air mereka mencapai 247 liter per orang per hari.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seseorang butuh 100 liter air per hari untuk kebutuhan dasar. Di Gaza, warga kini hanya mendapat antara dua hingga sembilan liter per hari.
Perjuangan untuk mendapatkan air hanyalah satu dari sekian banyak pertarungan yang harus kami hadapi setiap hari. Tidak ada makanan untuk keluarga yang kelaparan, tidak ada listrik untuk menyalakan kipas, dan tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit yang menjangkit kami. Setiap aspek kehidupan di sini adalah ujian ketahanan. Tidak ada yang meringankan beban keadaan yang brutal ini — tak ada kelegaan, tak ada jeda, bahkan tidak sedikit pun kenyamanan.
Saya masih tak habis pikir bagaimana di abad ke-21, di dunia yang berisi lebih dari 7 miliar manusia, dengan para pemimpin global yang terus bicara soal kemakmuran, martabat, dan supremasi hukum, kami tetap dibiarkan hidup tanpa kebutuhan manusia paling mendasar.
Pada Desember 2024, Human Rights Watch secara terbuka menyatakan bahwa warga Palestina di Gaza sedang menjadi korban genosida, dengan menyebut “penghilangan air oleh Israel sebagai tindakan yang disengaja.” Mereka mencatat bahwa “ribuan warga Palestina di Gaza telah meninggal akibat kekurangan gizi, dehidrasi, dan penyakit hingga Agustus 2024.”