Di Gaza, Kematian Tampak Lebih Mudah Daripada Amputasi

Menjadi anak tanpa anggota tubuh berarti menjalani hidup yang tidak adil. Berarti membutuhkan bantuan untuk setiap gerakan, setiap langkah, setiap aktivitas sederhana. Berarti selalu merasa berbeda, dipandang dengan iba atau rasa tidak nyaman, menyaksikan anak-anak lain berlari dan bermain tanpa bisa ikut bergabung. Banyak dari mereka, seperti Osama, harus menanggung semua itu tanpa dukungan ibu, ayah, saudara perempuan, dan saudara laki-laki.
Saya tidak sanggup membayangkan apa yang dirasakan Osama.
Namun saya tahu apa yang saya sendiri rasakan ketika hampir mengalami amputasi.
Pada Juni tahun lalu, rumah kami diserang dan seluruh keluarga saya terluka. Pecahan peluru bersarang di berbagai bagian tubuh saya, termasuk tangan. Saya dilarikan ke rumah sakit.
Pikiran pertama saya ketika mendengar saya memerlukan operasi darurat adalah bahwa saya mungkin kehilangan tangan saya.
Itu tangan kanan saya. Tangan yang saya gunakan untuk menulis impian saya. Tangan yang saya gunakan untuk membuka buku catatan dan memegang buku. Tangan yang saya gunakan untuk membantu ibu saya, memegang ponsel, dan menulis kepada teman-teman serta kerabat yang tak dapat saya temui.
Bagaimana saya bisa hidup tanpanya? Bagaimana saya bisa terus menjadi penulis, penerjemah, seorang perempuan yang masih berani bermimpi di tengah kehancuran ini?
Pada saat itu, saya merasakan apa yang juga dirasakan Osama: kematian akan terasa lebih mudah daripada kehilangan bagian dari tubuh saya.
Saya banyak menangis di rumah sakit. Bukan hanya karena sakit, tetapi karena takut pada hidup di mana saya mungkin tak lagi merasa utuh.
Operasi itu menyelamatkan tangan saya dari amputasi, tetapi pecahan peluru itu tetap berada di dalam. Mereka tidak bisa mengeluarkannya; letaknya terlalu dekat dengan saraf dan dokter khawatir akan merusaknya. Mereka mengatakan pecahan itu akan tetap di sana… tanpa batas waktu.
Sepotong pecahan peluru di dalam tubuh, seperti serpihan kenangan menyakitkan di dalam pikiran. Sebuah bagian perang yang masih hidup di dalam diri saya. Sepenggal kehancuran yang tertanam di tubuh saya.
Saya menghabiskan dua minggu di bangsal bedah—bagian yang diperuntukkan bagi kasus amputasi dan patah tulang anggota gerak. Tempat itu dipenuhi rasa sakit; tak ada pagi yang berlalu tanpa saya terbangun oleh jeritan anak yang menangis karena sakit amputasi, atau rintihan seorang perempuan yang menggeliat kesakitan akibat luka yang menolak sembuh.
Di depan ranjang saya, ada seorang perempuan berusia 50-an yang kehilangan kedua lengannya. Ia bahkan tidak dapat mengangkat sepotong roti ke mulutnya. Putrinya duduk di sampingnya, menyuapinya dengan sendok seakan ia seorang anak kecil. Matanya penuh air mata—bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi karena rasa tak berdaya yang tak tertanggungkan.