Di Tengah Pandemi, Perhatikan Juga Nasib Petani
Hari ini, 24 September, kita kembali memperingati Hari Tani Nasional. Di momen Hari Tani ini saya mengajak Pemerintah dan semua pemangku kepentingan pertanian untuk semakin memperhatikan nasib para petani dan pertanian Indonesia. Apalagi sektor pertanian terbukti tangguh di tengah krisis.
Di tengah-tengah pandemi, ketika sektor-sektor lain mengalami kontraksi, hal berbeda justru dicatatkan sektor pertanian. Sektor pertanian tercatat mampu tumbuh sebesar 16,4 persen. Ini terjadi karena produk-produk pertanian memang selalu dibutuhkan. BPS mencatat, sepanjang April-Juni 2020, secara tahunan kinerja sektor pertanian tumbuh 2,19 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga masih cukup besar, yaitu 15,46 persen. Dengan demikian, pertanian menjadi sektor terbesar kedua.
Sayangnya, meski secara sektoral mencatatkan pencapaian statistik yang positif, kondisi petani di lapangan justru memprihatinkan. Pandemi ini telah memperparah kondisi petani. Hal ini terlihat dari turunnya Nilai Tukar Petani (NTP) dari awal tahun hingga sempat terperosok ke angka 99,47 di bulan Mei 2020. Di lapangan, saya membaca, misalnya, para petani kubis di Magetan, Jawa Timur, mengeluhkan kerugian, akibat jatuhnya harga menjelang panen. Harga kubis di tingkat petani saat ini hanya berkisar Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram. Padahal, sebelumnya harga kubis masih ada di kisaran Rp3.000 hingga Rp5.000 per kilogram.
Dengan harga segitu, petani jelas merugi. Jatuhnya harga kubis di tingkat petani ini tentu ada hubungannya dengan Covid-19. Pandemi ini telah berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, selain tersendatnya distribusi akibat terjadinya pembatasan sosial.
Di situlah pentingnya ‘political will’ Pemerintah untuk melindungi petani. Kementerian Sosial harus segera memastikan para petani dan nelayan miskin menerima bantuan sosial selama pandemi ini. Selain itu, petani juga berhak mendapatkan program keluarga harapan, BLT desa, paket sembako, atau program gratis subsidi listrik. Apalagi, Pemerintah punya anggaran cukup besar untuk program ini, yaitu Rp110 triliun. Alokasi terbesar itu mestinya diprioritaskan untuk petani.
Kenapa demikian?
Selama pandemi ini, kita sedang terancam kelangkaan pangan. Presiden sendiri sudah mengakui kalau kita saat ini mengalami defisit beras di 7 provinsi, defisit jagung di 11 provinsi, defisit cabai besar di 23 provinsi, dan defisit cabai rawit di 19 provinsi. Stok bawang merah dan telur juga diperkirakan defisit di 22 provinsi. Sementara gula pasir diperkirakan defisit di 30 provinsi dan bawang putih di 31 provinsi. Tak heran, pada 2019, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-5 di ASEAN. Di bawah Singapura di peringkat pertama, Malaysia di peringkat kedua, Thailand di peringkat ketiga, dan Vietnam di peringkat keempat.
Untuk mengatasi masalah itu, mau tidak mau harus ada peningkatan produktivitas. Di situlah pentingnya stimulus Pemerintah kepada petani. Jadi, memperingati Hari Tani di tengah pandemi, kita berharap agar Pemerintah memprioritaskan nasib para petani.
Saya dan segenap pengurus HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) menyampaikan Selamat Hari Tani: Daulat pangan, daulat petani. Sejahtera petani, maju pertanian Indonesia.
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Ketua Umum DPN HKTI