Dikotomi Sipil-Militer Bukan Ajaran Islam

Kisah heroik sahabat Handzalah yang gugur sebagai syuhada Uhud di malam pertama pengantin barunya tertulis dalam tinta emas sejarah perang Uhud.
Seluruh Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keheranan menyaksikan jasad Handzalah yang semula bersimbah darah, saat itu tubuhnya ditemukan dalam keadaan bersih, habis dimandikan dan masih terlihat tetesan air yang mengalir dari tubuhnya beraroma wewangian minyak kesturi. Padahal, menurut ketentuan syariat, bagi mereka yang mati syahid di medan tempur, tidak ada kewajiban syar’i untuk dimandikan, dikafankan dan dishalatkan..
Melihat itu, Rasulullah segera memberitahukan kepada para Sahabat yang hadir bahwa Handzalah memang tak sempat mandi junub ketika datang panggilan jihad. Jasad dia baru saja selesai dimandikan oleh para Malaikat dari langit. Subhanallah. (Ar-Rahiiq Al-Makhtuum, 255)
Handzalah bukanlah salah seorang anggota satuan tempur dari batalyon infantri maupun kavelari. Namun demikian, Handzalah merasa terpanggil untuk bergabung dalam pasukan yang semula dipersiapkan oleh Rasulullah untuk melakukan pertahanan dalam kota, menghadapi kaum kafir Makkah yang telah berencana menyerang kota Madinah, sebagai balas dendam atas kekalahan yang dialami pada perang Badar tahun sebelumnya.
Dr. Abdul Aziz ‘Izzat Al-Khayyath dalam bukunya An-Nidzam As-Siyasiy Fil Islam mengatakan, konsekuensi disyariatkannya jihad dalam Islam, menjadikan setiap muslim adalah anggota militer jaysyun. Dan setiap muslim juga adalah tentara jundiyyun.
Predikat muslim sebagai jundullah (tentara Allah) seperti ini, menurut Al-Khayyaath, sudah berjalan lama sejak periode pemerintahan di bawah pimpinan Rasulullah Saw di kota Madinah.
Bahwa setiap muslim yang akil baligh dan berkemampuan untuk memanggul senjata, maka dia adalah jundullah (tentara Allah). Demikian pula mereka yang ikut bersama pasukan yang diberangkatkan ke medan perang.
Walaupun tugas mereka terbatas pada merawat yang sakit dan pelayanan lainnya terhadap seluruh prajurit perang pada saat itu. Bahkan mereka yang tidak ikut dalam pasukan tempur sekalipun, karena mendapat tugas sebagai penjaga ketertiban dan keamanan dalam kota, Syurthiyyun, askar atau polisi, mereka juga adalah jaysyun atau militer.
Kondisi seperti ini sudah berjalan lama melewati masa pemerintahan Khulafa’urrasyidiin. Namun seiring dengan perjalanan waktu terbentuklah satu institusi baru atau lembaga resmi dalam pemerintahan.
Sepanjang sejarah pemerintahan Islam, institusi itu baru mulai dibentuk pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, diteruskan oleh Kekhalifahan Bani Abbasiyah, menyusul Bani Fathimiyyah hingga Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki. Semangat sipil militer telah melebur dalam jiwa setiap muslim mendorong mereka untuk selalu siap siaga memenuhi panggilan Jihad Fi sabilillah. (Al-Khayyaath, 228)
Ibnu Taimiyah dalam kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyah Fi Ishlahi Ar-Ra’iy Wa Ar-Ra’iyah, (Politik Islam untuk Ketentraman dan Kedamaian Pemimpin dan Rakyat) pada bagian awal mukaddimah kitabnya, beliau mengutip QS. An-Nisa ayat 58-59.
Bahwa ayat 58 dari Surat An-Nisa ditujukan kepada para pemegang kekuasaan agar menunaikan amanah, menegakkan keadilan, menciptakan ketentraman, Kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa pilah pilih.
Sedangkan ayat 59 ditujukan kepada rakyat yang dipimpinnya. Mereka terdiri dari kalangan sipil dan militer tanpa dibedakan antara satu dengan yang lain, bahwa taat kepada Ulil Amri sebagai sebuah kewajiban agama.
Namun ketaatan kepada Ulil Amri adalah ketaatan bersyarat, selama mereka tidak memerintahkan berbuat yang melanggar syariat Allah.