RESONANSI

Diperlukan Kedaruratan: RUU Kedaulatan Ekonomi Konstitusi dan RUU Digitalisasi

Menurut data PPATK hanya dalam kurun waktu perhitungan satu tahun dari Maret 2023 s.d Juni 2024 hingga estimasi tutup tahun 2024 prediksi perputaran skala transaksinya berekskalasi hingga Rp2400 trilun. Itu akan nyaris sama dengan ketersediaan kebutuhan anggaran rumah tangga APBN setahun. Bilamana tak terpenuhi taruhannya bisa mengakibatkan instabilitas dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan dan negara.

Pun menentukan upaya-upaya pasal-pasal advokasi dan arbitrase secara hukum bereskalasi berskala domestik dan global bilamana terjadi penyimpangan dan pelanggaran dari pihak korporasi dan negara lainnya.

Kedua RUU itu intinya juga untuk menghambat terjadinya deras dan kencangnya arus pelarian dana ke luar negeri berupa rush atau inward-outward occupation, yang akan sangat membahayakan seperti:

Pertama, adanya pengaruh teknologi digitalisasi ini berkecenderungan seluruh bisnis konvensional dengan operasionalisasi pabrikasi, manufacturing, perbankan dll di Indonesia, tetapi justru kantor pusatnya di pelbagai negara, terutama terbanyak di Singapura.

Kedua, adanya kemunculan pengembangan skala bisnis properti raksasa dengan banyak dibangun kota-kota baru modern megapolitan beraglomerasi dengan reklamasi pantai berkecenderungan menjadi “negara dalam negara”.

Dan itu menjadi awal sangat buruk ketika PIK I dan II oleh pemerintah dimasukkan ke Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sudah pasti akan semakin menguntungkan pengusahanya karena dengan PSN betapa akan semakin banyak privilis-privilis lagi didapatkannya.

Pun buat apa banyak infrastruktur dibangun dengan hutang dana luar negeri, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan dsb, tetapi kemudian harus dijual lagi ke pihak asing dan aseng hanya akan mengakibat kerugian dan menjadi beban negara saja.

Ketiga, harus sudah sangat dihindari cara-cara kerjasama investasi dari Tiongkok-RRC, tidak saja berbunga sangat tinggi, bahkan menggunakan seluruh faktor-faktor produksinya dari mereka pula.

Pengalaman buruk itu terjadi di proyek KCBJ. Hingga berdampak merugikan pula bagi korporasi negara, seperti: Wika dan PT KAI.

Maka, perlu diwaspadai pula pelaksanaan mega proyek IKN yang sudah dikonversi obralan memalukan seperti menjual kedaulatan negara dengan HGU 190 tahun.

Bilamana cara investasinya sedemikian: itu sama halnya menciptakan zero atau zonk benefit bagi negara kita sendiri. Termasuk, tengah merenggut sektor pariwisata mendunia andalan Indonesia, Bali sudah dikangkangi oleh kekuatan digitalisasi super power Tiongkok-RRC merampoknya dengan tanpa kentara di semua lini bisnis pariwisatanya.

Dan bagi pasangan Prabowo-Gibran itu merupakan kartu merah, bilamana tetap dikesampingkan betapa strategis kepentingan kedua RUU itu. Keduanya di saat acara debat Presiden dieliminasi dan tanpa perhatian sama sekali. Selain, program prioritas infrastruktur berkelanjutan yang sesungguhnya telah mengarahkan Indonesia ke jurang kehancuran sendiri.

Semoga itu disadari oleh Prabowo Subianto untuk menunjukkan kemandirian ke pemimpinnya, —- yang masih menyisakan tebalnya jiwa dan korsa nasionalisme — tanpa pengaruh yang sangat membahayakan dari seorang “The King of Influencer” Jokowi yang meski berakhir kekuasaanya —tapi siapa nyana masih di-back up oleh kekuatan ekonomi sangat raksasa para korporasi konglomerasi oligarki itu yang akan menghasut dan membesut ranah dan aras kedaulatan dan harga diri rakyat, bangsa dan negara ini? Wallahu a’lam Bishawab.

Mustikasari-Bekasi, 26 Juli 2024

Dairy Sudarman, Pemerhati ekonomi politik dan kebangsaan.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button