‘Disobidience’: Ketidaktaatan Rakyat
Dan robohnya pintu gerbang belakang dan terbongkarnya pagar depan gedung DPR, sebenarnya merupakan simbolisasi kemenangan perlawanan para aksi demonstran itu untuk lebih menduduki gedung DPR sepenuhnya sebagaimana tercatat dalam sejarah 1998 melengserkan Soeharto sebagai pertanda kembalinya kedaulatan itu di tangan rakyat.
Artinya, tidak hanya sekadar persoalan kemenangan itu diwujudkan sampai terbatalkannya RUU Pilkada itu doang—tetapi dalam kerangka menegakkan hal terpenting yang substantif dan esensial, yaitu keadilan dan kebenaran konstitusional kembalinya kedaulatan rakyat itu sepenuhnya melalui tangan mereka.
Maka, hal yang ironis, mereka para demonstran itu yang seharusnya tak kena sanksi. Justru, aparatlah yang akan dikenakan jeratan hukum.
Sebagai terlarang bilamana aparat polisi melakukan tindakan represif, melukai dengan senjata karet maupun api, pengusiran dan pembubaran dengan gas air mata atau water cannon apalagi penangkapan yang ditindaklanjuti dengan tindak kekerasan seolah mereka pengacau anarkis, adalah sebagai tindakkan pelanggaran HAM berat.
Padahal, mereka itu pejuang penjaga demokrasi. Tindakan represivitas aparat kepolisian itu hanya sebagai upaya menghalang-halangi para aksi massa demonstran itu terhadap upaya berjalannya para Baleg DPR sebagai penjahat demokrasi menghalalkan segala cara demi melindungi dan mengamankan rezim penguasa kekuasaan otoritarian.
Yang sudah jelas-jelas melanggar prinsip ketaatan, kepatuhan dan kepatutannya kepada norma hukum konstitusional itu.
Untungnya, di demo penolakan RUU Pilkada lalu para demonstran itu hanya melakukan demo-demo yang bersifat naratif menyuarakan aspirasi dengan sindiran, cibiran, satire, dan teriakan-teriakan pembebasan dan kebebasan.
Bahkan, jika Baleg DPR itu tetap membangkang kemudian dilindungi oleh aparat dengan melakukan tindakan represivitas berlebih —jangan sampai terjadi tindakan anarkis merusak dan menghancurkan fasilitas umum.
Apa yang lebih tandes dan efektif mem-pressure Baleg DPR itu, adalah dengan melakukan apa yang disebut disobidience, suatu ketidaktaan rakyat sebagai upaya pembalasan kepada Baleg DPR yang telah sama-sama melakukan pelanggaran konstitusi. Artinya, tidak taat konstitusi pula.
Disobidence, lazim biasa dilakukan dengan cara pemogokan dan pemboikotan. Itu pernah dilakukan di negara Georgia hingga Presiden jatuh dan negara bangkrut dikarenakan mosi tidak dipercaya rakyat: rakyat mogok membayar pajak, buruh mogok bekerja, dsb. Atau seperti di India dipimpin Mahatma Gandi melakukan apa yang disebut sebagai Gerakan bereskalasi terstruktur, sistematis dan masif: Ahimsa (perlawanan tanpa kekerasan), Hartal (mogok kerja) dan atau Satyagraha (anti kerjasama).
Itulah sebenarnya yang paling diwaspadai dan ditakuti oleh Prabowo, yaitu: bakal terjadinya disobidience ini suatu protes dengan sasaran jangka pendek tapi bisa berimplikasi ke jangka panjang.
Maka, Prabowo mengeluarkan pernyataan bahwa apa yang terjadi saat ini —demonstrasi unjuk penolakan RUU Pilkada —bukanlah kehendaknya.