Duo Fahri dan Fadli Memang Beda?
Jadi harusnya clear. Penghargaan ini diberikan dalam kapasitas keduanya sebagai mantan pimpinan DPR. Tidak ada kait mengait dengan sikap kritis mereka.
Pertanyaannya, mengapa Mahfud hanya menyebut keduanya? Pemerintah juga terkesan membiarkan isu tersebut berkembang liar.
Saat bertemu di Istana Jokowi juga terkesan memanfaatkan panggung tersebut. Dia secara khusus memberikan penjelasan kepada pers bersama Wapres Ma’ruf Amin didampingi Duo F.
Jokowi juga mempersilakan Fahri dan Fadli bicara ke media. Terkesan spesial.
Agak sulit untuk membantah bahwa pemerintah, dalam hal ini istana mencoba memanfaatkan momen tahunan itu sebagai ajang pencitraan.
Mereka ingin membangun kesan bahwa pemerintahan Jokowi sangat demokratis. Menghargai perbedaan. Tidak alergi kritik, bahkan yang sangat keras seperti biasa dilakukan oleh duet Fahri dan Fadli.
Pemeritahan Jokowi selama ini mendapat banyak kecaman dari dalam dan luar negeri sebagai pemerintahan anti kritik.
Pengamat dari Universitas Melbourne, Australia Tim Lindsey bahkan menyebutnya sebagai “Neo New Order.”
Neo Orde Baru mengingatkan kita pada pemerintahan yang represif di masa Soeharto.
Sampai batas tertentu operasi public relation itu cukup berhasil. Duo F menjadi pelengkap penderita. Menolak salah. Menerima juga salah.
Publik, terutama kalangan oposisi kini tengah menunggu. Apakah setelah mendapat penghargaan, Duo F akan menjadi lebih jinak?
Bila benar, maka kecurigaan mereka bahwa Bintang Mahaputera Nararya itu berupa sogokan. Suap agar keduanya diam, atau setidaknya lebih jinak, mendapat pembenaran.
Namun melihat track record keduanya, kalau toh benar itu merupakan upaya rasuah politik, efektivitasnya sangat diragukan.
Fadli Zon secara formil bagian dari pemerintah. Partai Gerindra adalah pendukung pemerintah. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pembantu Jokowi. Namun dia tetap bersikap kritis. Sikapnya tidak berubah.
Bagimana dengan Fahri?
Ini masih perlu dibuktikan. Publik mulai curiga ketika dia bersama pengurus DPN Partai Gelora bertandang ke istana dan berselfie ria bersama Jokowi.
Namun bila kita tengok ke beberapa tahun silam, Fahri juga sudah membuktikan sebagai pribadi yang konsisten. Kukuh pada prinsip. Menjadi bagian dari pemerintah, tidak harus kehilangan sikap kritis.
Ketika PKS selama dua periode menjadi bagian dari pemerintahan SBY (2004-2014) Fahri juga tetap kritis.
Dia menjadi “anak nakal” yang sering merepotkan petinggi PKS.
Apalagi dengan posisinya sekarang sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gelora. Bukan pendukung pemerintah maupun oposisi. Bukan 01, bukan 02. Tidak ada beban apapun.
Waktu yang akan membuktikan. Apakah keduanya jenis politisi yang berbeda? end
Hersubeno Arief
sumber: facebook hersubeno arief