Ekonom INDEF: Gaji BPIP tak Pancasilais
Jakarta (SI Online) – Guru besar ilmu ekonomi sekaligus peneliti senior INDEF Didik J Rachbini mengritik gaji fantastis para pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Didik mengatakan besaran gaji BPIP sangat tak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
“Saya berpandangan bahwa gaji di BPIP sebagai lembaga baru di luar kewajaran. Bahkan saya berani mengatakan bahwa praktik kebijakan seperti itu tidak Pancasilais mengingat kondisi kesenjangan rakyat yang luar biasa pada saat ini,” kata Didik seperti dilansir detikcom, Rabu (30/5/2018).
Menurut Didik, pengalokasian gaji itu seperti ingin merayu para tokoh-tokoh yang berada di BPIP. Didik menegaskan para tokoh di BPIP tak layak menerima gaji fantastis.
“Cara mengalokasikan gaji tersebut seperti mau mengambil hati atau ‘menyuap’ tokoh-tokoh agar berpihak kepada pemerintah. Tokoh-tokoh dalamnya ada tokoh-tokoh yang berjuang untuk rakyat dan untuk bangsa juga tidak pantas menerima gaji sebesar itu karena memang hampir tidak bekerja normal sebagaimana layaknya seorang profesional. Jadi tidak selayaknya menerima gaji berlebihan di luar kewajaran tanpa kerja yang sewajarnya,” kritik Didik.
Didik lalu mengungkit birokrasi di waktu lalu yang disebutnya berkedok reformasi. Ini disebutnya telah menaikkan gaji sangat tinggi kepada para pegawai.
Meski gaji tinggi, Didik menyebut kualitas pelayanan publik tetap buruk dan masih dijangkiti boros, tidak efisien, tuna produktif, bahkan tuna kerja. Hal ini disebut Didik terjadi juga di BPIP.
“Ini dalam teori disebut perilaku ‘empire builders’, penyakit membangun birokrasi yang gemuk tapi tuna efisiensi. Lembaga-lembag ad hoc sudah banyak dibubarkan tetapi pada sisi lain dibangun kembali seperti BPIP dengan gaji yang menyinggung perasaan rakyat banyak,” kata dia.
Menurut Didik, praktik yang diterapkan di berbagai lembaga negara dengan mengalokasikan gaji, honorarium, dan renumerasi yang berlebihan akan menguras anggaran negara. Sumber pemborosan negara disebutnya berasal dari praktik-praktik seperti ini.
“Praktik pemborosan birokrasi lebih parah daripada zaman Orde Baru. Pada masa Orde Baru, jumlah APBN hanya sekitar 60-70 triliun rupiah tetapi utang terkendali. Jumlah APBN sekarang tidak kurang dari 2.000 triliun rupiah tetapi haus utang. Sebabnya tidak lain karena praktik pemborosan di birokrasi semacam BPIP dan lembaga-lembaga negara lainnya,” sebutnya.
“Jika praktik pemborosan seperti ini terus dilakukan, maka birokrasi akan memakan negara, pasak memakan tiang. Memang tidak ada hubungan langsung yang signifikan antara gaji 112 juta dengan utang yang besar. Tetapi praktik kolektif ‘empire builders’ seperti ini akan menguras anggaran negara secara boros dan tidak produktif,” pungkas Didik.
sumber: detik.com