Eksistensi Dinasti Politik di Indonesia
Belajar sejarah dunia atau Indonesia, akan kita dapati istilah dinasti. Dimana sebuah pemerintahan yang pemegang kekuasaannya ada pada sebuah keluarga atau setidaknya sedarah hingga beberapa keturunan. Dan identik dengan bentuk kerajaan. Kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. Agar kekuasaan tetap bertahan dalam lingkaran keluarga. Otomatis perpolitikan di negara tersebut berputar pada apa yang menjadi kehendak anggota keluarga atau minimal pemimpin tertingginya.
Apa yang terjadi seandainya negara menggunakan dinasti politik? jelas hal ini sangat berbahaya, sebagaimana yang kita lihat dari proses perpolitikan di Indonesia. Dari sejak proses pemilu hingga pasca pemilu kental dengan nuansa bagi-bagi kursi politik. Bukan untuk tujuan memperjuangkan kepentingan rakyat namun lebih kepada upaya pengamanan kepentingan pribadi.
Sehingga partai politik yang ada sudah bergeser jauh dari fungsi yang sebenarnya sebagaimana Islam mengatur dalam Al-Qur’an surat Ali Imran 3: 104 yaitu untuk amar makruf nahi mungkar. Namun berubah menjadi sapi perah kepentingan pelaku politik. Inilah wajah demokrasi, yang menyuburkan praktik-praktik dinasti politik. Dan yang terpenting, demokrasi mematikan pilar demokrasi itu sendiri, yaitu kekuasaan di tangan rakyat.
Faktanya, rakyat hanya diajak dialog menjelang pemilu. Setelahnya, hilang tak berbekas. Sumber Daya Alam yang sejatinyapun bisa menjadi sumber pendapatan negara beralih menjadi mesin uang bagi pergerakan partai, LSM dan lembaga lain yang berafiliasi dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan secara fair dan sehat. Partai diisi oleh orang-orang yang tak punya kesadaran yang sahih, buta misi dan visi keumatan.
Pengaturan politik lebih ditekankan kepada kesepakatan antara kelompok terorganisir sehingga terbentuk penguasa dan pengikut kelompok. Politik jadi berbayar mahal, sebab tergantung pada kesepakatan terbesar yang berhasil digolkan. Siapa pemilik kapital? merekalah pengusaha yang kemudian menjadi penguasa sebenarnya. Penguasa yang ” dipilih” rakyat menjadi penguasa boneka. Tunduk patuh pada setiap perkataan penguasa pengusaha.
Inilah yang kemudian memberi pengaruh buruk yang luar biasa. Hingga akhirnya rakyat kembali tersakiti, sebab muncul berbagai kasus sebagai akibat dari pertarungan kepentingan dan kesepakatan diatas, seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Lebih jauh, pemerintah kehilangan fungsi meriayah umatnya. Padahal untuk itulah maksud dipilihnya penguasa.
Islam sebagai agama paripurna, yang berisi akidah dan syariat, telah mendudukkan kekuasaan hanya sebagai sarana. Bukan tujuan. Dengan mindset seperti itu akan menciptakan pemimpin yang handal, tak sekadar maju mencalonkan diri. Namun bersungguh-sungguh menjadikan posisinya kelak jika ia terpilih sebagai pemimpin adalah untuk menunaikan amanah.
Al-Hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang aku telah mendengar Nabi Saw bersabda,“Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga). HR. Imam Bukhari.
Jelas Islam tidak mengenal dinasti politik, sebab, seorang pemimpin dipilih berdasarkan tujuh syarat in’iqod yang telah Allah tetapkan. Islam pun telah menjelaskan batasan kewenangan seorang pemimpin, yaitu menjadi pemegang amanah. Penerap sekaligus penjamin terlaksananya syariat Allah. Wallahu a’lam bishshawab.
Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo