Empat Alasan Kenapa Kartu Prakerja Sebaiknya Dihentikan dan Diganti BLT
Kritik terhadap pelaksanaan program Kartu Prakerja terus bermunculan, datang dari banyak kalangan. Melalui program Kartu Prakerja, Pemerintah dinilai hanya sedang mempertebal kantong sejumlah perusahaan aplikasi digital.
Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp5,6 triliun, atau hanya terpaut sedikit di bawah nilai skandal Bank Century. Bahkan ada yang mengatakan bahwa program ini bukan “pelatihan digital” tapi “perampokan digital”. Intinya, pelaksanaan program ini “cacat” dan meleset dari tujuan.
Jika dirumuskan, saya mencatat setidaknya ada empat alasan kenapa program ini harus dianggap bermasalah.
Pertama, program ini tak relevan mengatasi dampak Covid-19. Program Kartu Prakerja tidak menjawab krisis yang tengah dihadapi. Target peserta program ini, misalnya korban pemutusan hubungan kerja (PHK), jelas lebih membutuhkan bantuan berupa ‘cash transfer’ atau bantuan langsung tunai (BLT) daripada pelatihan online. Lagi pula, mau usaha apa, atau kerja di mana, wong hampir semua perusahaan, termasuk sektor informal, saat ini semuanya tutup? BLT lebih dibutuhkan untuk menyambung hidup di tengah Covid-19.
Semua orang pastilah masih ingat program ini sebenarnya berangkat dari janji kampanye Calon Presiden Joko Widodo. Jadi, konteks gagasannya adalah program dalam kondisi normal. Sehingga, memaksakan program tersebut di tengah situasi krisis, jelas bermasalah. Konsepnya jadi tidak relevan.
Kedua, skema programnya tidak masuk akal. Sesudah terjadi pandemi Covid-19, Pemerintah telah mengubah tujuan program Kartu Prakerja ini menjadi membantu masyarakat yang terdampak wabah. Ini adalah skema bermasalah.
Seperti poin pertama tadi, Kalau mau membantu masyarakat terdampak, seharusnya dilakukan melalui BLT saja, tak perlu melibatkan pelatihan. Ini untuk menjaga agar anggaran Kartu Prakerja bisa utuh seratus persen sampai ke masyarakat, tidak terpotong oleh mitra penyedia jasa pelatihan.
Jangan lupa, anggaran Rp5,6 triliun yang masuk ke kantong platform digital itu mencapai 28 persen keseluruhan anggaran Kartu Prakerja. Sekarang bayangkan, kalau hampir 30 persen anggaran bantuan bagi korban PHK, atau mereka yang kehilangan penghasilan, ternyata habis untuk hal-hal lain, dari sisi penganggaran ini jelas inefisiensi. Dari sisi administrasi, ini jelas maladministrasi.
Kalaupun Pemerintah tetap ngotot mau bikin pelatihan, karena materi pelatihan itu dianggap penting, apa masuk akal biaya pelatihan online menyedot anggaran hingga Rp5,6 triliun? Jangan lupa, duit sebesar itu habis hanya untuk membeli video tutorial. Ini kan tak masuk akal.
Sebagai pembanding, anggaran TVRI dan RRI dalam APBN 2020 itu masing-masing hanya Rp1,2 triliun dan Rp1,3 triliun. Kalau anggaran beli video itu, katakanlah Rp500 miliar saja, atau bahkan kurang dari itu, diserahkan ke TVRI atau RRI untuk memproduksi siaran program pelatihan keterampilan dan kewirausahaan, saya kira bukan hanya 5,6 juta target Kartu Prakerja saja yang bisa menontonnya, tapi juga 270 juta masyarakat Indonesia. Bahkan, mereka tak perlu beli pulsa, kuota, atau memiliki ponsel Android untuk bisa mengakses.
Jadi, menurut saya, skema program ini memang bermasalah.