Enam Dugaan Pelanggaran Hukum dan HAM dalam Kerusuhan 21-22 Mei
2. Tidak dapat bertemu dengan keluarga
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, seluruh pengaduan mengalami penangkapan yang kemudian menghilangkan akses mereka untuk bertemu dengan keluarga. Hal ini bertentangan dengan Pasal 60 KUHAP, di mana setiap tersangka berhak untuk menerima kunjungan dari keluarganya.
3. Tidak diberikannya bantuan hukum
Semua orang yang ditangkap tidak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/advokat. Beberapa keluarga mendapatkan informasi bahwa mereka anggota keluarga mereka yang ditangkap telah mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang disediakan oleh pihak Kepolisian. Namun, seringkali penasihat hukum yang disediakan oleh Kepolisian tidak memberikan pembelaan sebagaimana mestinya. Misalnya saja dalam perkara Nomor 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel. tanggal 16 Januari 2014 di mana para anak-anak yang didampingi oleh kuasa hukum yang disediakan oleh Kepolisian ternyata tidak didampingi saat dilakukan pengambilan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan hanya datang ketika BAP sudah selesai dibuat untuk sekedar tandatangan saja. Keseluruhan perkara tersebut ternyata hanyalah rekayasa saja, terbukti ketika mereka dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Pilihan yang terbaik adalah orang-orang yang ditangkap mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang mereka pilih sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHAP untuk mencegah adanya rekayasa perkara yang merugikan tersangka.
4. Pelanggaran Hak Anak
Dalam pemeriksaan terhadap anak dari keluarga yang melakukan pengaduan, dari kronologi di atas diketahui bahwa pemeriksaan dilakukan tanpa adanya orang tua. Hal tersebut merupakan pelanggaran hak anak dalam proses hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Ditemukan juga fakta bahwa anak tersebut berada dalam kondisi babak belur dan kepalanya bocor. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak anak untuk bebas dari kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kepolisian harus mengusut siapa yang melakukan kekerasan terhadap anak tersebut karena kekerasan terhadap anak jelas dilarang dan pelakunya dapat dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Tahun 6 bulan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 80 jo. Pasal 76C undang- undang yang sama.
Meskipun anak tersebut berstatus sebagai tersangka atas dugaan kekerasan, tidak lantas ia layak mendapatkan kekerasan sebagai ganjaran dari tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
5. Tidak diberitahukannya penangkapan dan penahanan
Seluruh keluarga korban yang melakukan pengaduan mengalami hal yang sama: mereka tidak mendapatkan informasi dari pihak yang menangkap di mana anggota keluarga mereka berada. Informasi bahwa anggota keluarga mereka ditangkap dan berada dalam penguasaan pihak Kepolisian diperoleh berdasarkan inisiatif sendiri dengan cara mencari ke sana ke mari dengan harap-harap cemas dan kekhawatiran atas kondisi anggota keluarganya atau temannya.
Tidak diberikannya tembusan surat penangkapan dan surat penahanan terhadap keluarga para pengadu sebagaimana tersebut di atas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (3) KUHAP. Kelalaian memberikan tembusan dapat mengakibatkan tidak sahnya proses penangkapan dan penahanan, sekaligus melanggengkan citra Kepolisian yang arogan dan serba melanggar hukum.
Tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan seharusnya diberikan agar keluarga tahu di mana anggota keluarganya ditangkap dan ditempatkan untuk ditahan. Seharusnya juga diberikan saat anggota keluarga datang mengunjungi anggota keluarganya yang ditangkap di Polda Metro Jaya atupun di satuan Kepolisian lainnya. Sebagaimana disebutkan di atas, tidak diberikannya tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan membuka peluang terjadinya pelanggaran lainnya seperti tidak adanya kuasa hukum, rekayasa perkara, dan dihukumnya orang yang tidak bersalah.
6. Dugaan Salah Tangkap
Berdasarkan kronologi sebagaimana tersebut di atas, terdapat dugaan keras bahwa sebagian dari para tersangka yang ditangkap merupakan korban salah tangkap (error in persona) karena hanya sekedar melihat aksi yang tiba-tiba menjadi rusuh, motor mogok, dan berbagai alasan lainnya.
Ditambah dengan dugaan keras adanya penyiksaan yang kemudian memaksa mereka untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan, peluang mereka untuk bebas dari hukuman atas tindakan yang tidak mereka lakukan menjadi semakin kecil. Kepolisian harus memberikan kesempatan bagi orang-orang yang ditangkap untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dengan membuka akses mereka terhadap keluarga maupun bantuan hukum. Tanpa dibukanya akses tersebut, maka peluang terjadinya miscarriage of justice menjadi tidak terhindarkan. Akan ada banyak orang tidak bersalah yang dihukum.