Esham, Solusi Mengatasi Defisit Fiskal?

Misalkan pemerintah menetapkan bahwa esham yang akan diberikan pembayaran anuitas selamanya adalah esham dengan nilai di atas satu miliar. Kalau di bawah Rp1 miliar maka periode waktunya adalah 10 tahun. Lalu prosentase nilai anuitasnya, misalnya, yang esham selamanya adalah tiga persen per tahun dan esham sepuluh tahun adalah 10 persen per tahun.
Lalu pemerintah mengumumkan pada publik mengenai kebijakan esham ini. Pasca pengumuman, ternyata nilai yang terkumpul adalah sebagai berikut:
(i) Terdapat satu juta orang pemegang esham dengan nilai masing-masing Rp1 juta per orang sehingga terkumpul dana Rp1 triliun
(ii) Terdapat 10 ribu orang pemegang esham dengan nilai Rp1 miliar per orang sehingga terkumpul Rp10 triliun.
Jadi pada tahun tersebut total dana terkumpul adalah Rp 11 triliun, dengan kewajiban pembayaran anuitas pemerintah adalah Rp 100 miliar untuk kategori (i) dan Rp300 miliar untuk kategori (ii). Jadi besaran anuitas yang dibayarkan di tahun berikutnya adalah Rp400 miliar total dan ini berlangsung selama 10 tahun. Setelah itu, maka kewajiban pembayaran anuitasnya adalah Rp 300 miliar per tahun di tahun kesebelas dan seterusnya. Di tahun kesepuluh itu pula, pemerintah tidak perlu mengembalikan pokok dana yang telah dibayarkan publik.
Terkait definisi selamanya, ide gagasan awal esham ini adalah tanpa batas waktu. Namun jika melihat perjalanan usia instrumen ini dalam sejarah Turki Usmani, maka usia instrumen ini tidak lebih dari 100 tahun. Artinya bisa saja dalam ilustrasi contoh ini, pemerintah menetapkan batas waktu maksimal adalah 75 tahun atau 100 tahun.
Sebagai penutup, penulis sengaja menuliskan tentang esham ini, yang terinspirasi dari pemaparan pakar wakaf dunia, Prof Murat Cizakca, tujuannya agar bisa menjadi diskusi publik, sebagai alternatif pembiayaan program negara.
Namun yang perlu diingat, sejarah mengajarkan bahwa kunci keberhasilan penerapan instrumen ini terletak pada transparansi dan akuntabilitas pengelolaan fiskal yang berujung pada tingkat kepercayaan publik yang tinggi, serta semangat mesyarakat untuk mau berkorban demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Semoga ini bisa diwujudkan di Indonesia. Wallaahu a’lam. []
Irfan Syauqi Beik, Dekan dan Guru Besar Ekonomi Keuangan Sosial Syariah FEM IPB University
Laily Dwi Arsyianti, Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB University