‘Evidence Maret Amin’: Waktu Kritikal Penentuan Indonesia Masa Depan
Bulan Maret ini bagi bangsa Indonesia, adalah waktu kritis. Diperlukan segala daya upaya sangat maksimal dengan berpikir akal sehat, cerdas dan dengan penuh kewarasan; membuat langkah strategis dan piawai secara konstitusional; dan menemukan jalan solutif yang imparsial dan integral dengan kepentingan seutuhnya:
Demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara ini—di tengah ketika bangsa dan negara ini berada di ujung jurang yang sudah nyaris terhengkang terjungkal ke dalamnya.
Di jurang dalam itu, ada sungai yang dipenuhi batu cadas seraya mengalir air bandang deras yang akan menyeret menghantarkan bahtera NKRI ini mencirikan menuju ke arah kemunculan adanya residu politik negara monarki-oligarki gaya baru yang bermetamorphosis dari habitat lamanya.
Bahtera cita-cita murni idealisme kemuliaan hasil perjuangan dan kejuangan para pendiri dan jutaan pahlawan gugur bertumpah darah: Pancasila dan UUD 1945 itu akan terhempas dan tergerus membentur cadas hancur berkeping-keping oleh derasnya air bandang itu.
Yang ada adalah kibaran kedigdayaan negara monarki-oligarki gaya baru itu dengan bercokol kekuasaan feodalistik elitisme politik otoritarianisme penguasa dengan-pengusaha-pengusaha yang rakus dan serakah yang tak pernah haus dan puas dengan dahaga materialisme-kebendaan kekayaannya.
Yang dalam begitu banyak literasi sejarah komparatif ketata negaraan di belahan dunia mana pun tak mampu menyejahterakan rakyatnya secara setara dan adil. Fakta terbarukan tak usah jauh-jauh yang terjadi dengan Thailand dan Malaysia.
Terlebih, secara demografi tingkat populasi penduduk Indonesia termasuk salah satu terbesar di dunia. Sumber kekayaan yang berlimpah ruah seharusnya dimiliki bersama hanya dikuasai oleh segelintir orang itu sudah jelas takkan mampu memajukan menyejahterakan bangsa dan negara ini.
Sebaliknya, keculasan dan kelicikan yang selalu dicarakan sebagai residu politik kekuasaan monarki-oligarki gaya baru itu akan semakin menjadi faktor “pelicin” menuju ketergelinciran ke penghancuran NKRI ke titik ekstrem ke terjal jurang terjadinya disparitas kemiskinan dan kebodohan rakyatnya yang semakin parah dan dalam.
Saat ini di negeri komprador dinyiyir publik sebagai “Kerajaan Republik Konoha” ini lihatlah betapa fenomenal proses transisi demokrasi adanya pergantian Presiden —sekalipun atas perintah konstitusional — dipenuhi kotoran anomali, abstraksi-inkonstitusional dan ketidakwajaran pelanggaran dan kecurangan.
Dasar hakikinya karena ambisiusisme “gila” kebetahan pada kenikmatan tahta kekuasaan: adanya ketidakmauan, keangkuhan dan kepongahan bahwa kekuasaan itu suatu “kelanggengan” tak tergantikan.
Alias, bagi mereka pergantian kekuasaan itu sebagai ekstraksi power sindrom di zaman kemodernan ini. Yang alasannya pun dipropaganda sebagai keberhasilannya yang luar biasa membangun begitu banyak infrastruktur.
Padahal, itu antitesis boleh dianggap percuma saja jika itu hasilnya hanya akan menambah hutang negara bertumpuk-tumpuk. Bukan hasil benefit neraca surplus, tetapi defisit parah hasil destruktif keuangan negara.