Fajar Pagi di Ufuk Malam Panjang Peradaban Islam
Di tengah kemunduran umat Islam, peradaban Barat berdiri gagah dengan corong modernisasinya. Hal ini menstimulus para reformis Muslim untuk melancarkan upaya revivalisasi peradaban Islam.
Pola masyarakat Muslim yang cenderung kolot dan stagnan, tidak mampu menghadapi tantangan zaman yang kian melangit. Penjahahan sana-sini, khususnya bangsa-bangsa berpenduduk Muslim, terus menggerus peradaban dan menjadikan wibawa umat Islam semakin kandas.
Demikian itu terekam dalam kehidupan pada abad ke delapan belas dan sembilan belas, bahkan hingga sekarang, yang berbenih berabad-abad sebelumnya.
Lahirnya para tokoh yang berani tampil di depan, dalam rangka menyadarkan kaum Muslimin untuk segera bangkit dari tidurnya, rupanya membawa dampak yang cukup signifikan. Dengan segala kemampuan intelektual serta energinya, mereka haturkan dengan sukarela kepada umat.
Dari tokoh-tokoh tersebut sebut saja misalnya, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Iqbal. Mereka adalah sosok reformis dan Muslim modernis, juga disebut filsuf, pada mula-mula gerakan kebangkitan Islam digencarkan. Pemikiran dan gerakannya memberi secercah cahaya di tengah gulita.
Sebagai filsuf, pemikiran-pemikiran modernis Muslim bertumpu pada nilai-nilai praksis. Tentu ini sebagai bentuk respon dari kehidupan sosial masa itu. Maraknya kejumudan dan sikap taklid dalam tubuh umat Islam, dipandang sebagai salah satu indikasi kemunduran peradaban Islam itu sendiri.
Di lain sisi, persatuan umat Muslim yang lemah memberikan peluang kepada penjajah untuk mengeksploitasi bangsa-bangsa Islam. Dengan begitu, para filsuf Muslim modern menawarkan upaya-upaya untuk mengatasi problema yang terjadi, baik pemikiran maupun aktualisasinya, berupa geraka-gerakan revivalis.
Berbeda dengan corak pemikiran filsuf Muslim klasik. Mereka lebih menekankan pada kajian metafisika, etika, hakikat jiwa, dan epistemologi. Politik dan kenegaraan tidak menjadi pusat atensi mereka, sebab saat itu perpolitikan, masa Dinasti Abbasiyah, cenderung stabil, tidak seperti kultur politik era kelahiran modernis Muslim.
Filsuf Muslim klasik lahir tatkala Islam menempati singgasana kejayaannya. Beragam diskursus keilmuan dikaji tiada henti, hingga abad tiga belas saat kemegahan itu luluh-lantak diterjang Mongolia. Peradaban Islam selanjutnya mulai mudur perlahan-lahan hingga filsuf Muslim modern tiba.
Kemunduran Islam itu mencapai puncaknya pada abad ke delapan belas, sebagaimana yang telah digambarkan sebelumnya. Kolonialisme mendominasi bangsa-bangsa Muslim.
Fenomena ini menggerakkan hati Al-Afghani (1838-1897) untuk melakukan pembaharuan. Semangat Pan-Islamismenya dihuru-harakan demi menyatukan umat Islam yang tercerai-berai. Dengan persatuan itulah menurut al-Afghani kaum Muslim mampu mengenyahkan penjajah. Di samping itu, urgensi pendidikan Islam tidak luput dari sorotannya. Pengajaran yang beku serta sikap jumud perlu dientaskan.
Begitu pun Abduh (1849-1905) menilai bahwa, pendidikan dalam dunia Islam cenderung statis. Tidak ada kemajuan yang berarti dalam hal intelektualitas orang-orang Islam. Lebih lagi sikap taklid yang subur dipelihara mereka. Kepercayaan terhadap takhayul dan laku bid’ah juga masif merajalela.