Fatwa Nikah si Kaya dengan si Miskin, Solusi Kemiskinan?
Bak kisah di film Korea atau sinetron televisi, si kaya menikahi si miskin. Pangeran, anak seorang raja atau pengusaha jatuh cinta pada gadis miskin. Drama cinta dengan bumbu konflik selalu menjadi daya tarik penonton. Namun apa yang terjadi jika hal ini terjadi di alam nyata, bahkan ditetapkan dalam sebuah fatwa?
Sebagaimana diusulkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, kepada Menteri Agama Fachrul Razi agar menerbitkan fatwa tentang pernikahan antartingkat ekonomi. Menurutnya hal ini bisa mencegah peningkatan angka kemiskinan. (Tempo.com, 19/2/2020)
Menteri Muhajir menyebut meningkatnya angka kemiskinan juga linier dengan meningkatnya penyakit seperti kerdil atau stunting. “Rumah tangga Indonesia 57.116.000, yang miskin 9,4 persen sekitar 5 juta, kalau ditambah status hampir miskin itu 16,8. persen itu sekitar hampir 15 juta.”
Penguasa tahu betul bahwa menurunkan angka kemiskinan adalah tugas mereka. Belum lagi dari kemiskinan tersebut, akan muncul berbagai persoalan baru, salah satunya adalah stunting. Karenanya, rantai kemiskinan ini, harus diputus. Namun lagi-lagi solusi yang dikemukakan, sangat jauh dari realita kehidupan, seperti halnya usulan fatwa pernikahan antara si kaya dan si miskin.
Pengentasan kemiskinan, sesungguhnya bukan perkara yang sulit di tangan penguasa. Sebab tanggung jawab pengelolaan negara ada pada mereka. Dengan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya jika diurusi dengan amanah, maka hasilnya lebih dari cukup untuk kesejahteraan rakyat.
Seperti pernah terjadi di masa kejayaan Islam, Umar bin Abdul Aziz mampu merubah mustahik menjadi muzakki, penerima zakat menjadi pemberi zakat. Khalifah Dinasti Umayyah yang ke delapan ini, berkuasa hanya 2 tahun 5 bulan. Akan tetapi, dengan penerapan syariat Islam, beliau mengentaskan kemiskinan.
Bukan sulap bukan sihir, bukan pula dongeng sebelum tidur, namun ini benar terjadi. Betapa ketaatan penguasa kepada Allah dalam memimpin negara, akan membuahkan hasil yang gemilang. Kemaslahatan meliputi kehidupan umat, kerusakan bisa diberantas habis.
Maka jika perkara kemiskinan ingin dituntaskan hingga ke akar, solusinya adalah kembali kepada Islam, pada agama yang lurus. Sebab Islam tidak hanya sebagai ibadah ritual saja, namun ia juga sebagai mualajah, solusi bagi seluruh permasalahan umat. Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan, beliau menggunakan Islam sebagai metode mengatur kehidupan bernegara.
Sebab kemiskinan terjadi secara sistemik, maka solusinya pun harus sistemik. Dan itu adalah ranah penguasa untuk menuntaskannya. Karenanya, adalah hal yang mustahil, jika rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri untuk ke luar dari kemiskinan. Oleh sebab itu, tidak bisa main ‘hati’ untuk menyelesaikan kemiskinan. Apalagi dengan fatwa pernikahan si kaya dan si miskin, sungguh jauh panggang dari api.
Lulu Nugroho
MuslimahPenulis dari Cirebon