Fedi Nuril: Antara ‘Duta Poligami’ dan Mengkritisi Para Petinggi Negeri

Ketiga, Fedi Nuril adalah lulusan D3 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, kampus yang sejak 1966 mendapat julukan “Kampus Perjuangan”. Kendati seiring perjalanan waktu tak sedikit alumni UI yang menjadi partisan, menjadi bagian dan pendukung rezim pemerintahan yang terus berganti, namun kritisisme sebagai ciri khas sivitas akademika UI menjadi sumber energi yang lain bagi Fedi.
Keempat, kemandirian finansial yang memadai. Memilih sikap menjadi oposisi kekuasaan sama sekali tak mudah tanpa kemampuan finansial yang kokoh. Pada konteks ini Fedi meski tak pernah dikenal sebagai artis yang gemar flexing (pamer) kekayaan seperti para influencer. Tetapi, dia juga bukan artis yang hidupnya terengah-engah Senin-Kamis.
Simaklah data MyBookShow Indonesia, cabang dari MyBookShow—platform pemesanan tiket film, musik, dan pertandingan olahraga secara daring terbesar di Asia—yang dikutip Investor Daily berikut ini:
Dari film Ayat-Ayat Cinta (2008) saja Fedi meraup pendapatan kotor Rp107 miliar. Dari film 5 cm (2012) sebesar Rp72 miliar, dari Surga yang Tak Dirindukan (2016) sebesar Rp45,7 miliar; dari Get Married (2011) sebanyak Rp23,8 miliar; dari Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh (2014), mendulang Rp15 miliar.
Itu belum termasuk dari film-film terakhirnya seperti Bila Ibu Besok Tiada yang sudah dipirsa 3,7 juta penonton sampai akhir Desember 2024. Dan belum termasuk juga dari penjualan musik band Garasi yang sudah menelurkan tiga album dan terus mendapatkan royalti, meski tidak setinggi pendapatan dari film-filmnya.
Kombinasi empat faktor di atas membuat keberanian Fedi Nuril dalam menyuarakan kritik dan koreksi kepada para petinggi negeri menjadi bisa lebih dipahami konteksnya.
Di tengah gencarnya Fedi Nuril melancarkan kritik kepada kekuasaan, ternyata dia juga seorang humoris. Pada akhir Januari 2025, seorang fans K-Pop asal Malaysia mencuit kepada fans K-Pop Indonesia agar bersedia membarter Nicholas Saputra dengan Upin-Ipin.
Usul nyeleneh itu ditanggapi seorang netizen Indonesia yang menyatakan “tak rela jika Nicsap (Nicholas Saputra) dibarter sepasang budak (anak) botak”. Seorang netizen Indonesia lainnya menyarankan bagaimana jika barter Upin-Ipin dengan Fedi Nuril saja? Fans K-Pop asal Malaysia merespon tak terduga. “Duta poligami itu? Suami orang!” cuitnya menegaskan penolakan.
Rupanya, komentar itu dibaca Fedi Nuril yang menanggapi tak kalah jenaka. “Oh my god! Gelar itu bahkan sudah sampai di Malaysia?” tulisnya di X pada 24 Januari 2025.
(Untuk lengkapnya, baca berita Tempo.co: “Momen Lucu Fedi Nuril dan Nicholas Saputra Tanggapi Netizen Malaysia”)
Salah satu parameter kematangan demokrasi sebuah negara terlihat pada bagaimana pusat kekuasaan merespon kritik yang datang dari publik. Apapun latar belakang profesi mereka, entah akademisi atau aktor dan musisi, karena kebebasan berpendapat dijamin konstitusi.
Fenomena kritisisme Fedi Nuril selayaknya ditempatkan dalam konteks itu. Tak perlu ada pengerahan para pendengung (buzzer) untuk membungkam pendapat yang berbeda seperti praktik yang lazim terjadi di pemerintahan lalu. Layaknya keindahan sebuah taman yang muncul dari beragam keindahan bunga yang berbeda, pun begitu halnya dengan keindahan taman demokrasi yang bermartabat.
Maka, public enemy bukanlah sosok vokal seperti Fedi Nuril yang tak pernah mengandalkan hidup dari gaji dan anggaran negara yang dihimpun dari pajak rakyat. Public enemy sebenarnya adalah para koruptor berbaju jabatan dan berselimut kekuasaan yang tamak memperkaya diri dan keluarga di tengah kehidupan masyarakat yang semakin berat. []
20 Februari 2025
Akmal Nasery Basral, Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Seniman/Budayawan Nasional.